Faith For Forest: Kolaborasi Umat Beragama Untuk Perlindungan Hutan



Pada tanggal 11 hingga 15 Maret 2019 di Nairobi, telah diselenggarakan diskusi “Faith for Earth” (Agama untuk Bumi) yang diselenggarakan oleh The United Nations Environment Programme (UN Environment) atau Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai bagian dari pertemuan besar seluruh negara dunia dalam United Nations Environment Assembly ke 4 (UNEA 4). Indonesia muncul diwakili penulis sebagai salah satu pembicara pada pertemuan ini mengenai “Kolaborasi Antar Umat Beragama untuk Pelestarian Hutan (Faith for Forest)“ sebagai Ketua Dewan Penggerak “Indonesia Bergerak Selamatkan Bumi” (Siaga Bumi).

Kemunculan Indonesia di dunia internasional untuk lingkungan hidup berbasis agama dimulai dari prakarsa Prof. Dr. Din Syamsuddin selaku Ketua Dewan Pengarah Siaga Bumi. Beliau telah memprakarsai deklarasi Kolaborasi Antar Umat Beragama untuk Pelestarian Hutan (Multifaith Collaboration for Rainforest Protection) pada Jum’at 26 Oktober 2018 di Taman Perdamaian komplek MPR/DPR RI. Prakarsa kolaborasi antar umat beragama untuk Perlindungan Hutan Hujan di Indonesia merupakan realisasi dari pertemuan Religions for Peace International di Oslo, Norwegia, pada Juni 2018. Pertemuan itu memutuskan untuk menyelenggarakan serangkaian acara peluncuran deklarasi untuk perlindungan hutan di negara-negara hutan hujan, khususnya yang mencakup 70% dari semua hutan tropis yang tersisa yaitu Indonesia, Brasil, Peru, Kolombia, dan Kongo. Indonesia adalah negara pertama dan saat ini satu-satunya dari lima negara yang meluncurkan deklarasi kolaborasi antar agama untuk perlindungan hutan.

Ini merupakan salah satu inisiatif yang paling inovatif dan menarik yang sedang berlangsung saat ini di lapangan. Karena untuk mengubah sudut pandang penggundulan hutan tropis (deforestasi), dibutuhkan orang-orang yang menginspirasi dengan cara baru dengan mengambil nilai-nilai inti masyarakat dan menjadikannya sebagai landasan etika dan moral untuk menjadikannya perhatian dan motifasi melakukan tindakan segera.

Mangrove: Peredam Gelombang Laut dan Abrasi Pantai


Indonesia merupakan negara kepulauan dan memiliki garis pantai dan wilayah pesisir yang sangat luas.  Wilayah pesisir merupakan wilayah interaksi antara daratan dan laut.  Wilayah ini memiliki peran yang sangat penting tidak hanya sebagai benteng pelindung daratan, namun juga sebagai tempat produktif bagi perdagangan, transportasi, perikanan, budidaya perairan, pertambangan serta pariwisata.  Kondisi kawasan pesisir di Indonesia telah banyak mengalami kerusakan.  
Hempasan gelombang laut, angin, pasang surut dan arus serta sedimentasi daerah delta sungai, menyebabkan berubahnya garis pantai serta menurunnya kualitas pesisir sebagai suatu ekosistem lahan basah.  
 Untuk melindungi pantai dari terjangan gelombang laut dan abrasi serta mengembalikan peran dan fungsi ekosistem pesisir yang telah rusak, maka harus ada sistem perlakuan untuk mereduksi dan memperlemah energi gelombang laut.  Setidaknya ada dua sistem perlakuan, yaitu membangun sarana pemecah ombak seperti sea-wall, break water dll (hard engineering) dan penanaman mangrove (soft engineering).
Kegiatan-kegiatan manusia yang bersifat eksplotatif pada kawasan pesisir menyebabkan berkurangnya kemampuan dan daya dukung kawasan pesisir.  Konversi lahan menjadi pertambakan, hunian dan industri, pencemaran dan pemanfaatan sumber daya pesisir yang berlebihan memberikan pengaruh negatif pada kestabilan kawasan pesisir.
 Pemilihan sistem perlakuan yang tepat dan efektif harus disesuaikan dengan kondisi alam, besar kecilnya hempasan ombak, jenis material tanah atau pasir, dana dan kondisi sosial budaya daerah setempat.
 Untuk kondisi pantai bersubstrat pasir dengan deburan ombak kencang dapat dibangun pemecah ombak (hard engineering), namun bila kondisi pantai berlumpur/tanah mineral (biasanya di sekitar muara) yang paling tepat adalah membangun benteng alami yaitu dengan menanam tanaman pantai diantaranya MANGROVE.  Dalam kondisi tertentu seperti pantai mengandung lumpur namun ombak lautnya besar dapat dilakukan perpaduan dari kedua sistem tersebut.  Breakwater dipasang sejajar pantai di lepas pantai dan mangrove ditanam di belakang pemecah gelombang tersebut, hingga saatnya nanti mangrove tumbuh besar dan kokoh.  Secara umum, sangat dianjurkan agar hutan mangrove  menjadi solusi utama dari permasalahan wilayah pesisir saat ini.
 Untuk melindungi pantai dari terjangan gelombang laut dan abrasi serta mengembalikan peran dan fungsi ekosistem pesisir yang telah rusak, maka harus ada sistem perlakuan untuk mereduksi dan memperlemah energi gelombang laut.  Setidaknya ada dua sistem perlakuan, yaitu membangun sarana pemecah ombak seperti sea-wall, break water dll (hard engineering) dan penanaman mangrove (soft engineering).




Ekosistem Mangrove Mendukung Sub Sektor Perikanan

Sebuah hasil penelitian terbaru tentang pentingnya ekosistem mangrove yang diluncurkan oleh The Nature Conservancy, Wetlands International dan Universitas Cambridge menyatakan bahwa ekosistem mangrove merupakan sumber penting untuk mendukung penghidupan ratusan juta masyarakat yang tinggal di pesisir pantai dan dataran rendah dan menghasilkan sumber protein hewani.
Data FAO menjelaskan pada tahun 2011 mengungkap bahwa hasil tangkapan dan konsumsi perikanan, crustacea, moluska dari seluruh lautan duniat adalah 78,9 juta ton atau 16,6 persen dari seluruh proten yang dihasilkan dari protei hewani. Permintaan dunia akan hasil laut telah meningkat secara dramatis dalam beberapa dekade belakangan ini, meningkat dua kali lipat dari 9,9 kg per kapita pada tahun 1960-an menjadi 18,8 kg perkapita pada tahun 2011. Para peneliti mempercayai bahwa di masa depan, dunia tidak lagi dapat bergantung hanya kepada hasil perikanan tangkap laut lepas, tetapi harus mulai menggali sumber-sumber lain yang potensial, salah satunya pada ekosistem mangrove.
“Hasil kesimpulan studi kami menyatakan bahwa upaya konservasi mangrove dan restorasi ekosistemnya yang ada di daerah yang dekat dengan hunian akan memberikan keuntungan investasi terbesar untuk meningkatkan perikanan,” jelas Mark Spalding, ilmuwan laut senior di The Nature Conservancy menyebutkan. Dia menambahkan seharusnya sumberdaya yang ada di ekosistem mangrove dapat dimanfaatkan untuk mendorong upaya perikanan yang lebih baik lagi, termasuk memberikan nilai ekonomi dari sektor perikanan di satu sisi dan kesejahteraan masyarakat di sisi lain.
Dalam studi yang dipaparkan minggu ini, dinyatakan bahwa populasi ikan yang bergantung pada mangrove berkorelasi dengan produktivitas biomassa yang ada di mangrove, termasuk daun dan batang kayu, yang membentuk sebuah rantai makanan bagi ekosistem.
Meskipun demikian, masih banyak kebijakan yang tidak berpihak untuk mempertahankan kondisi mangrove terutama yang berada di daerah yang padat penduduknya, diantaranya akibat degradasi mangrove karena konversi, desakan pemukiman dan industri, polusi dan penangkapan biota yang berlebihan (over-fishing).  Padahal dengan memanfaatkan ekosistem mangrove dengan pengelolaan yang baik, akan memberikan nilai tambah yang besar bagi nelayan.
“Banyak pembuat keputusan dan nelayan tidak menyadari hutan mangrove memegang peran kunci dalam mendukung perikanan. Dengan pemahaman yang lebih lengkap terhadap  layanan ekosistem mangrove maka kami berharap nilainya sosial dan ekonomi akan meningkatkan pengelolaan berkelanjutan baik dari sisi pelestarian mangrove dan sektor perikanan,” jelas Femke Tonneijck, peneliti dari Wetlands International.
Padahal di daerah-daerah yang perikanannya telah maju, sebagian tergantung kepada upaya pemanfaatan mangrove. Sebagai contoh di Florida, Amerika Serikat yang 80 persen hasil komersial laut tergantung kepada mangrove, dan di Filipina yang 72 persen hasil lautnya juga tergantung kepada pemanfaatan mangrove.
Dari hasil penelitian de Groot et al (2012), dengan pemanfaatan optimal maka dapat diperoleh nilai ekonomi USD18 ribu untuk satu hektar mangrove di area produktif. Beberapa spesies komersial yang diperoleh dari mangrove mencakup berbagai jenis ikan, kepiting, udang dan berbagai pemanfaatan jenis-jenis kayu bakau lainnya.
Pengelolaan Mangrove di Indonesia
Pengelolaan mangrove di Indonesia dapat dikatakan masih jauh dari ideal. Dari sekitar 3,2 juta hektar total mangrove di Indonesia, atau 22 persen luas mangrove dunia, maka hanya sekitar 46 persen yang masih baik. Salah satu kendala dalam upaya rehabilitasi mangrove diakui oleh salah satu pejabat dari Kemenhut (sekarang Kemen LH Hut) adalah berkejar-kejaranya kerusakan mangrove dengan rehabilitas mangrove. Pada tahun 2014, pemerintah mematok 40 ribu hektar mangrove untuk direhabilitasi.
Salah satu sumber dari pengelolaan mangrove yang tidak optimal di Indonesia terletak kepada ketidaksinkronan program antara pemerintah pusat dan daerah, yang dilatarbelakangi oleh berbagai kepentingan yang berbeda, termasuk penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah di tingkat daerah yang menyebabkan mangrove sering dikorbankan. Konversi lahan mangrove menjadi daerah industri dan tambak udang menjadi problem utama pelestarian mangrove.
Sebagai contoh adalah bentuk kegagalan tambak udang skala raksasa di Delta Mahakam Kaltim seluas 60 ribu hektar yang menyisakan endapan asam sulfat yang muncul di permukaan tanah di eks area mangrove.
Alih-alih mempertahankan ekonomi berbasis ekosistem mangrove yang ada, konversi menjadi tambak udang skala raksasa telah memunculkan zat kimia dari dalam tanah, yang telah menyebabkan ekonomi berbasis tambak udang di area eks mangrove mangrove kolaps hanya dalam beberapa kali siklus tambak udang saja. Akibatnya, masyarakat yang ada di lokasi tersebut kehilangan mata pencarian dan terpaksa meninggalkan area yang tidak lagi produktif untuk budidaya perikanan.
Kawasan mangrove yang masih baik di Indonesia terletak di Papua, secara khusus di kabupaten Mimika dan Asmat, yang meliputi 69 persen dari seluruh kawasan mangrove di Indonesia. Namun demikian, mangrove yang ada belum mampu dimanfaatkan secara optimal.
Untuk melihat artikel lengkapnya, sila klik tautan ini.

Mangrove dan Kontribusinya pada Mitigasi Perubahan Iklim

Para ahli mengakui kontribusi ekosistem mangrove mempunyai kemampuan menyimpan karbon dan mencegah abrasi akibat gerusan air laut.  Ekosistem mangrove juga berperan sebagai penyangga dengan menangkap sedimen kaya karbon organik yang datang seiring dengan kenaikan permukaan air laut. 
Penelitian yang dilakukan oleh Daniel Murdiyarso (Ilmuwan Utama di Center for International Forestry Research/CIFOR) serta Badan Tenaga Atom Nasional menemukan bahwa laju sedimentasi lapisan lumpur, di pinggir maupun di bagian dalam sistem mangrove di provinsi Sumatera Utara Indonesia mencapai kurang lebih 3,7 hingga 5,6 mm (seperdelapan hingga seperempat inci) tiap tahun.  Temuan ini menunjukkan, meski makin terhimpit tekanan lingkungan di Sumatera Utara terkait produksi tambak udang, perkebunan kelapa sawit pesisir dan kesibukan pelabuhan, mangrove mampu bertahan menghadapinya.
Berikut ini adalah fakta mengenai mangrove di Indonesia yang aslinya dipublikasikan dalam infografis CIFOR:
  1. Hampir seperempat dari seluruh ekosistem mangrove dunia berada di Indonesia. Mencakup luas 2,9 juta hektare, hampir seluas Belgia.
  2. Hutan mangrove Indonesia menyimpan lima kali lebih banyak karbon dibanding hutan daratan, dan sepertiga dari seluruh karbon yang tersimpan dalam ekosistem pesisir global. Tersimpan lebih dari tiga miliar ton karbon, atau setara dengan hanya 20 tahun emisi bahan bakar fosil Indonesia pada tingkat penggunaan 2011.
  3. Diperkirakan 55.0000 hektare mangrove Indonesia – menghilang tiap tahun, atau setara luas New York.  Akuakultur bertanggung jawab atas 40 persen kehilangan mangrove.
  4. Emisi tahunan dari kerusakan mangrove Indonesia sebesar 190 juta ton, setara dengan seluruh 9,5 juta mobil penumpang (data 2011) di Indonesia berjalan keliling dunia dua kali.  Lebih dari 40 persen emisi global dari kerusakan ekosistem pesisir, termasuk semak, mangrove dan rumput laut, berasal dari kerusakan mangrove di Indonesia.
  5. Menghentikan kerusakan mangrove dapat memenuhi seperempat dari target reduksi emisi Indonesia, yaitu sebesar 26 persen pada 2020. Ini setara dengan mengurangi 40 juta mobil di jalanan.

7 Fakta Penting Mangrove

Sebagai negara pesisir, kita pasti sering atau paling tidak, pernah mendengar kata Mangrove.  Mulai dari fungsinya sebagai pencegah abrasi pantai hingga Indonesia sebagai negara yang memiliki keragaman jenis mangrove yang tinggi, tak jarang terngiang di telinga.
Berikut, 7 fakta menarik seputar mangrove yang SilvaNesia kutip dari Mongabay Indonesia,  guna memperingati Hari Mangrove Sedunia yang dirayakan setiap 26 Juli.
1.              Asal kata mangrove
Sebagaimana ditulis dalam Buku Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia terbitan Wetlands International-Indonesia Programme, asal kata mangrove memang tidak diketahui secara baku.
Macnae (1968) menyebutkan, kata mangrove perpaduan antara Bahasa Portugis mangue dan Bahasa Inggris. Sementara menurut Mastaller (1997), kata mangrove berasal dari bahasa Melayu kuno mangi-mangi yang digunakan untuk menerangkan marga Avicennia dan digunakan hingga sekarang di Indonesia bagian timur.
Meski beberapa ahli mendefinisikan mangrove dengan berbagai versi, namun pada dasarnya merujuk pada hal yang sama. Tomlinson (1986) dan Wightman (1989) mendefinisikan mangrove sebagai tumbuhan yang terdapat di daerah pasang surut dan juga sebagai komunitas. Mangrove juga didefinisikan sebagai formasi tumbuhan daerah litoral yang khas di pantai tropis dan subtropis yang terlindung (Saenger, dkk, 1983).
Sementara Soerianegara (1987), mendefinisikan hutan mangrove sebagai hutan yang tumbuh pada tanah lumpur aluvial pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, serta terdiri berbagai jenis pohon Aicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa.
Hal terpenting menurut Wightman (1989) yang lebih penting untuk diketahui pada saat bekerja dengan komunitas mangrove adalah menentukan mana yang termasuk dan mana yang tidak termasuk mangrove. Dia menyarankan seluruh tumbuhan vaskular yang terdapat di daerah yang dipengaruhi pasang surut termasuk mangrove.
Isitilah mangrove secara umum digunakan juga untuk menunjuk habitat. Dalam beberapa hal, mangrove digunakan untuk merujuk jenis tumbuhan, termasuk jenis-jenis tumbuhan yang terdapat di pinggiran mangrove seperti formasi Barringtonia dan Pes-caprae.

2.              Penyebaran mangrove di 124 negara
Mangrove tumbuh di 124 negara tropik dan subtropik dengan luasan di dunia sekitar 15,2 juta hektare. Indonesia bersama empat negara lainnya (Australia, Brasil, Nigeria, dan Mexico) mewakili 48% dari luasan hutan mangrove dunia. Luasan mangrove di Brasil diperkirakan 1,3 juta ha, Nigeria (1,1 juta ha), dan Australia (0,97 juta ha), berdasarkan penelitian Spalding, dkk, tahun 1997.

3.             Indonesia pemilik 25 persen luasan mangrove dunia
Pada Konferensi Internasional Ekosistem Mangrove Berkelanjutan, di Bali, 18 April 2017, Menteri Lingkungan Hidup dan kehutanan Siti Nurbaya dalam sambutannya menuturkan, berdasarkan data One Map Mangrove, luas ekosistem mangrove Indonesia 3,5 juta hektare yang terdiri dari 2,2 juta ha di dalam kawasan dan 1,3 juta ha di luar kawasan mangrove. Ekosistem mangrove tersebut berada di 257 kabupaten/kota yang sebagian besar ekosistemnya telah mengalami kerusakan.  Kerusakan tersebut disebabkan konversi lahan menjadi area penggunaan lain, perambahan, hama dan penyakit, pencemaran dan perluasan tambak, serta praktik budidaya yang tidak berkelanjutan.

4.             Indonesia kaya jenis mangrove
Berdasarkan Buku Panduan Pengenalan Mangrovre di Indonesia, Indonesia memiliki sekitar 202 jenis tumbuhan mangrove, meliputi 89 jenis pohon, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit, 19 jenis pemanjat, 5 jenis palma, dan 1 jenis paku.
Dari 202 jenis tersebut, 43 jenis (diantaranya 33 jenis pohon dan beberapa jenis perdu) ditemukan sebagai mangrove sejati (true mangrove). Sementara jenis lain, ditemukan di sekitar mangrove dan dikenal sebagai jenis mangrove ikutan (associate asociate).
Di seluruh dunia, berdasarkan penelitian Saenger, dkk (1983) ada sebanyak 60 jenis tumbuhan mangrove sejati.

5.             Berus mata buaya, mangrove langka yang tumbuh di Indonesia
Tumuk putih atau berus mata buaya (Bruguiera hainesii) merupakan mangrove yang sebelumnya hanya diketahui tumbuh di tiga negara. Jumlahnya hanya 203 pohon, yaitu di Singapura terdapat 3 pohon, di Malaysia tumbuh 80 pohon, dan di Papua Nugini sekitar 120 pohon.
Sebagaimana keterangan dari Sahabat Masyarakat Pantai (Sampan) Kalimantan yang meneliti jenis ini, awal 2017, berus mata buaya ditemukan di Teluk Pari Tanjung Terong, Desa Tanjung Harapan, Kubu Raya, Kalimantan Barat. Spesies ini hidup pada substrat lumpur berpasir.

Gambar 1.  Berus mata buaya, mangrove langka yang hidup di wilayah pesisir Padang Tikar,                                  Desa Tanjung Harapan, Kubu Raya, Kalimantan Barat.

6.             Mangrove adalahpenyerap karbon luar biasa
Peneliti senior dari  Center for International Forestry Research (CIFOR), Daniel Murdiyarso, dalam risetnya (Murdiyarso et al., 2015), menjelaskan bila hutan mangrove Indonesia menyimpan lima kali karbon lebih banyak per hektare, dibanding hutan tropis dataran tinggi.
Mangrove Indonesia juga menyimpan 3,14 miliar metrik ton karbon (PgC). Sedangkan bagian bawah ekosistem menyimpan karbon sebesar: 78% karbon dalam tanah, 20% karbon di pohon hidup, akar atau biomassa, dan 2% di pohon mati atau tumbang.
Berdasarkan informasi dari CIFOR, mengenai Mangrove Indonesia: Berkas fakta: Kekayaan nasional dalam ancaman, disebutkan sekitar 3 juta hektare hutan mangrove tumbuh di sepanjang 95.000 kilometer di pesisir Indonesia.

7.             Buah mangrove dapat diolah
Tulisan Dyah Ilminingtyas W.H, Dosen Teknologi Pangan UNTAG, Semarang, mengenai Potensi Buah Mangrove Sebagai Alternatif Sumber Pangan di Mangrove Magz.com, menunjukkan bila mangrove dapat diolah.
  Buah mangrove jenis lindur (Bruguiera gymnorrhiza) yang secara tradisional diolah menjadi kue, dicampur nasi atau dimakan langsung dengan bumbu kelapa (Sadana, 2007) ternyata mengandung energi dan karbohidrat cukup tinggi.
Penelitian yang telah dilakukan Institut Pertanian Bogor bekerja sama dengan Badan Bimas Ketahanan Pangan Nusa Tenggara Timur (Fortuna, 2005) menunjukkan, kandungan energi jenis ini 371 kalori per 100 gram, lebih tinggi dari beras (360 kalori per 100 gram), atau jagung (307 kalori per 100 gram). Sedangkan kandungan karbohidratnya sebesar 85.1 gram per 100 gram, lebih tinggi dari beras (78.9 gram per 100 gram) dan jagung (63.6 gram per 100 gram).  Bruguiera gymnorrhiza memiliki nama lokal lindur (Jawa dan Bali), kajang-kajang (Sulawesi), aibon (Biak), dan mangi-mangi (Papua). Jenis ini akan berbuah sepanjang tahun dengan ketinggian pohon hingga 35 meter.

PEMANFAATAN LAHAN DI BAWAH TEGAKAN DENGAN TANAMAN PORANG SECARA INTENSIF

 

PEMANFAATAN LAHAN DI BAWAH TEGAKAN DENGAN TANAMAN PORANG SECARA INTENSIF

Oleh : Tri Andik Setyawan, S.Hut



BAB I Pendahuluan

Tanaman umbi-umbian di Indonesia mempunyai keragaman jenis dan manfaat dari umbinya yang relatif banyak. Keragaman jenis tanaman umbi-umbi seperti uwi, suweg, ketela pohon, ketela rambat, ganyong, porang, dan lain-lain. Keragaman manfaat dari umbinya meliputi sebagai bahan sumber karbohidrat, bahan perkerat, bahan pembuat obat dan lain-lain (Ariel, 1999 di dalam Suwarmoto, 2004).

Tanaman porang merupakan salah satu tanaman umbi-umbian di Indonesia yang memiliki manfaat dari umbinya yang lebih beragam dari pada tanaman umbi lainnya. Tanaman porang mengandung karbohidrat yang penting yaitu glukomanan (Heyne, 1987; Lahiya 199  Janseet.al., 1996).  Kandunga Glukomanan  pad tanaman  porang paling tinggi dibandingkan dengan tanaman umbi lainnya (Ohtsuki, 1968; Rosman dan Rusli,  1991 Jansen et.al   1996 dan  jug merupakan  satu-satuny sumber  glukomanan bukan pohon yang cukup tinggi (Plucknett, 1978; Suyatno, 1982). Adanya Glukomanan membuat tanaman porang tidak hanya sebagai bahan pangan tetapi dapat digunakan membentuk gel, kestabilan, pengental, dan penyerap air yang baik (Dave, Sheth, McCarthy, Ratto, dan Kaplan, 1998; Pang, 2003; Zhang,Xie, dan Gan, 2005). Dalam bidang kesehatan, glukomanan dapat membuat efek positif terhadap kesehatan, antara lain: menurunkan risiko kanker, berat badan, kolesterol jahat (LDL), dan mengurangi konstipasi (Arvill dan Bodin, 1995;).

Keberagaman manfaat dari umbi tanaman porang menyebabkan nilai jual umbi yang relatif tinggi. Menurut informasi hasil wawancara penulis dengan petani tanaman porang di Saradan, Madiun Jawa Timur pada tanggal 29 Januari 2014, umbi tanaman porang yang basah atau baru diambil dari tanah dan dibersihkan tanahnya mempunyai harga perKgnya 3000-3500. Umbi kering atau umbi yang dirajang kemudian dikeringkan dengan sinar matahari memiliki harga perKgnya 20.000-25.000.

Tanaman porang mempunyai potensi untuk dikembangkan di Indonesia. Menurut Cokro1 (Komunikasi pribadi, 2004 di dalam Suwarmoto, 2004) negara maju seperti jepang membutuhkan 1000 ton gaplek umbi dari tanaman porang per tahun.

Menurut Sunaryo2 daerah yang mengembangkan tanaman porang sampai saat ini hanya di daerah nganjuk dan saradan saja. Hal tersebut mengakibatkan budidaya tanaman porang dapat dikembangkan ke daerah lain dan berpotensi menghasilkan pendapatan petani yang besar dari umbi tanaman porang.




BAB II Tanaman Porang

Tanaman porang merupakan tanaman umbi-umbian yang mempunyai dua siklus hidup dan masa dorman. Dua siklus hidup tanaman porang tanaman porang yaitu siklus vegetatif dan siklus generatif. Siklus vegetatif dimulai pada musim penghujan dengan diawali pertumbuhan tunas, kemudian tumbuh akar pada tunas diatas umbi, diikuti batang semu dan daun. Pada masa kemarau, tanaman mengalami masa dorman (istirahat) dengan ditandai batang semu dan daunnya mengering selama 5-6 bulan. Jika musim hujan tiba berikutnya, tanaman porang yang tadi mengalami masa vegatatif dan dorman akan memasuki siklus vegetatif atau siklus generatif. Apabila memasuki siklus vegetatif, tanaman porang akan tumbuh batang dan daunnya, tetapi jika mengalami siklus generatif dari umbinya akan keluar bunga dan tidak terdapat daun. Bunga tersusun dari bunga-bunga yang menghasilkan buah dan biji (Jansen et.al., 1996 di dalam Kurniawan, 2012).




Menurut informasi hasil wawancara penulis dengan petani tanaman porang di Saradan, Madiun Jawa Timur pada tanggal 29 Januari 2014, tanaman porang dalam satu siklus vegatitif dapat menghasilkan bubil atau katak. Bubil terletak pada sela-sela daun dan ranting. Selain itu, bubil akan terlepas dari tanaman porang ketika tanaman porang mengalami masa dorman. Bubil tersebut berjumlah banyak dan jatuh ke tanah, apabila dilakukan penamanan maka akan tumbuh tanaman porang yang tiap tahun semakin banyak dan meningkat dalam satu lahan. 




BAB III Budidaya Tanaman Porang Secara Intensif

Keadaan tanaman porang yang mempunyai dua siklus hidup dan masa dorman mengharuskan pembaca di dalam melakukan budidaya tanaman porang harus secara intensif. Hal tersebut dilakukan agar pembaca mendapatkan hasil yang maksimal dalam budidaya tanaman porang.

Budidaya tanaman porang secara intensif yaitu kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan secara intensif dari awal terbentuk tanaman porang sampai tanaman porang dapat dipanen secara intensif. Kegiatan-kegiatan didalam budidaya tanaman porang secara intensif meliputi kegiatan pembersihan lahan, penanaman, penyiangan, pempupukan, pendangiran, dan pemanenan. Berbagai kegiatan di dalam budidaya tanaman porang secara intensif juga harus memperhatikan waktu yang tepat dalam melakukan kegiatan tersebut. Sebelum pembaca melaksanakan kegiatan yang sesuai dengan waktu di dalam budidaya secara intensif. Pembaca harus memperhatikan dua komponen penting pada tanaman porang. Dua komponen tersebut antara lain:

1.    Bahan tanaman

 

Bahan tanaman porang dapat diperoleh dari bubil, umbi, biji, cabutan, stek daun dan stek umbi. Menurut Suwarmoto (2004) mengatakan bahwa bahan tanaman porang terbaik dari umbi dan bubil yang berdiamter 2,5 cm. Bahan tanaman yang digunakan didalam budidaya tanaman porang secara intensif harus dipilih jenis dan ukuran yang seragam. Hal tersebut harus dilakukan karena jenis dan ukuran bahan tanaman yang seragam dapat mengahasilkan tanaman porang yang umurnya hampir sama. Pemiihan jenis dan ukuran bahan tanaman porang yang seragam dapat menyebabkan budidaya secara intensif yang terdiri dari berbagai kegiatan dapat dilaksanakan lebih mudah dan tepat waktu.

Bahan tanaman yang terdiri dari beberapa jenis adalah merupakan komponen penting dan harus diperhatikan di dalam budidaya tanaman porang secara intensif. 


2.    Media tanam

Sebelum pembaca melakukan budidaya tanaman porang secara intensif. pembaca harus mengetahui media tanam yang cocok dan baik untuk tanaman porang agar tanaman porang tumbuh optimal dan pembaca tidak mengalami kerugian dalam pelaksanaan kegiatan budidaya tanaman porang. Media tanam dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu:

a)    Keadaan iklim

Tanaman porang dapat tumbuh dari dataran rendah sampai 1000 m di atas permukaan laut, dengan suhu antara 25-35o C, sedangkan curah hujannya antara 300-500 mm per bulan selama periode pertumbuhan. Selanjutnya, suhu maksimal di atas 35o C menyebabkan daun tanaman porang mengalami proses terbakar, sedangkan pada suhu rendah menyebabkan tanaman porang dorman (Idris, 1972 ; Perum Perhutani, 1995 di dalam Sumarwoto 2004). Oleh karena itu, syarat- syarat tersebut menjadi bahan acuan dalam pemilihan media sebelum dilakukan budidaya tanaman porang secara intensif.

 

b)      Keadaan tanah

Tanaman porang dapat tumbuh pada media tanah bertekstur ringan yaitu pada kondisi lempung berpasir, struktur gembur dan kaya unsur hara, drainase baik, kandungan bahan organik tanah tinggi dan kisaran pH tanah 6-7,5 (Jansen ,1996). Selanjutanya,    jenis tanahnya bervariasi yaitu latosol, regosol, tanah berkapur serta andosol. Menurut Subini 3(Komunikasi pribadi, 2014) menyatakan tanah dengan kondisi lempung berwarna hitam dan putih tidak dapat tumbuh tanaman porang.

c)      Keadaan Lingkungan

Tanaman porang merupakan tanaman umbi-umbian yang tidak banyak memerlukan sinar matahari sehingga tanaman porang dapat tumbuh dibawah naungan tegakkan (Pitojo, 2007). Intensitas sinar matahari dari naungan tegakkan yang bagus dan optimal untuk pertumbuhan tanaman porang yaitu antara 50-60% (Jansen et al., 1996; Kurniawan, 2007). Tanaman porang dapat hidup pada berbagai jenis tegakkan seperti jati, mahoni, sonokeliling, trembesi dan lain-lain. Di lain pihak, penelitian suwarmoto (2004) menyatakan tegakkan sengon mengakibatkan ulat memakan daun sengon kemudian daun tanaman porang juga dimakan oleh ulat tersebut. Oleh karena itu, semua tegakkan dapat digunakan untuk tumbuh tanaman porang kecuali tegakkan yang daunnya sering dimakan ulat seperti tegakkan sengon.

Komponen media dan bahan tanaman porang telah diketahui secara detail sehingga kegiatan di dalam budidaya tanaman porang secara intensif dapat dilakukan dengan baik dan bertahap. Tahapan kegiatan budidaya tanaman porang secara intensif dapat digolongkan menjadi 6 kelompok tahapan kegiatan. Enam kelompok tersebut secara detail dan tahapan prosenya akan diuraikan sebagai berikut ini:

 

1)      Pembersihan lahan

Tahapan pertama di dalam budidaya tanaman porang secara intensif yaitu kegiatan pembersihan lahan dari rumput-rumput yang tumbuh pada lahan. Tujuan dari kegiatan pembersihan adalah lahan menjadi bersih dari rumput- rumput yang tumbuh dilahan sehingga lahannya dapat ditanami bahan tanaman porang.

Sebelum kita melakukan kegiatan pembersihan lahan dari rumput, kita harus memperhatikan waktu penanaman dari bahan tanaman porang. Misalnya, bahan tanaman cabutan tanaman porang hanya dapat ditanam musim hujan maka pembersihan lahan dilakukan pada musim penghujan. Pembersihan lahan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :

a)    Pembersihan dengan manual.

Pembersihan dengan manual yaitu kegiatan membersihkan rumput-rumput dengan memakai alat-alat dan tenaga seperti mencabuti rumput dengan tangan, memakai sabit untuk membersihkan rumput, dan lain-lain. Proses pembersihan rumput dengan manual harus dilakukan sampai akar-akar rumput mati atau tercabut. Setelah itu, rumput dikumpulkan menjadi satu dan dikubur di dalam tanah agar rumput membusuk dan menjadi pupuk untuk tanaman porang yang akan ditanam dilahan.

b)   Pembersihan dengan kimia atau obat.

 

Pembersihan dengan kimia atau obat yaitu kegiatan membersihkan rumput-rumput yang ada dilahan dengan obat atau kimia. Pembersihan dengan obat atau kimia dilakukan dengan cara rumput-rumput disemprot dengan bahan kimia. Setelah itu, rumput ditunggu sampai mengalami kering dan mati. Rumput yang telah mati dan kering dikumpulkan menjadi satu dan dikubur didalam tanah agar rumput membusuk serta menjadi tambahan pupuk tanaman porang yang akan ditanam dilahan. Di dalam budidaya tanaman porang secara intensif sebaiknya kita harus memilih obat yang mempunyai kandungan bahan kimia dengan kelebihan membasmi rumput sampai akarnya mati. Menurut informasi Subini 4) (Komunikasi pribadi, 2014) obat merk rondap merupakan salah satu obat yang memiliki kandungan kimia yang dibutuhkan di dalam budidaya tanaman porang secara intensif.



Penanaman


Tahap kedua adalah kegiatan penanaman bahan tanaman porang. Kegiatan penanaman harus memperhatikan beberapa faktor secara bertahap. Faktor- faktor tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

a)      Waktu penanaman

 

Bahan tanaman mempunyai waktu tanam berbeda antara satu dengan yang lain. Bahan tanaman dari umbi dan bubil yang berukuran diameter 2,5cm sebaiknya langsung ditanam pada musim kemarau dan tidak perlu dipersemaikan terlebih dahulu. Disisi lain, biji,cabutan, bubil berukuran kecil, stek daun dan stek umbi tidak dapat ditanam langsung ke lahan dan memerlukan proses persemaian serta menunggu waktu yang sesuai untuk menanam bahan tanaman tersebut ke lahan. Waktu musim penghujan adalah waktu yang sesuai untuk menanam cabutan, biji, stek daun dan stek umbi setelah dilakukan persemaian (Suwarmoto, 2004). Oleh karena itu, budidaya tanaman porang secara intensif harus dilakukan dengan cara menanam bahan tanaman yang jenis, ukuran sama dan waktunya sesuai dengan bahan tanaman.

b)      Cara penanaman

 

Cara penanaman dapat dilakukan dengan berbeda-beda cara pada setiap bahan tanaman yang digunakan. Cara-cara tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

i.       Cara penanaman umbi dilakukan dengan cara tunas pada umbi dibalik maupun tidak dibalik dapat tumbuh tanaman porang. Menurut Suwarmoto (2004) mengatakan tunas umbi dibalik dan tidak dibalik menghasilkan berat umbi yang sama pada tanaman iles- iles.

ii.    Menurut Subini 5(Komunikasi pribadi, 2014) bubil dilakukan penanaman di lahan dengan cara mata-mata bubil tidak dibalik agar tanaman porang dapat tumbuh.

c)      Lubang atau kedalaman tanah

 

Setelah kita mengetahui waktu penanaman dan cara penanaman yang sesuai dengan bahan tanaman, kita membuat lubang atau kedalaman tanah untuk bahan tanaman ditanam. Lubang atau kedalaman belum ditemukan berbagai sitasi atau referensi. Menurut informasi hasil wawancara penulis dengan petani tanaman porang di Saradan, Madiun Jawa Timur pada tanggal 29 Januari 2014, untuk mendapatkan lubang atau kedalaman tanah yang baik adalah sesuai dengan ukuran bubil dan umbi yang digunakan untuk tanaman porang. Selain itu, cabutan tanaman porang yang berasal dari biji, stek daun dan stek umbi ditanam pada lahan dengan kedalaman tanah menutupi akarnya.

Agar pembaca dapat memahami kegiatan penanaman bahan tanaman dari umbi dan cabutan tanaman porang secara jelas. 





 

d)     Jarak tanam

 

Jarak tanam merupakan tahap akhir di dalam kegiatan penanaman setelah waktu tanam, lubang tanam dan cara penanaman terpenuhui. Jarak tanam yaitu jarak antara satu lubang tanaman dengan lubang yang lain. Di dalam budidaya tanaman porang secara intensif jarak tanam harus diatur agar kegiatan-kegiatan berjalan efektif dan efisien.

Jansen et al., (1996) mengatakan bahwa jarak tanam tanaman porang tergantung bahan tanaman. Selanjutnya, bubil menggunakan jarak tanam optimum 35-70cm dan umbi menggunakan jarak tanam optimum 35-90cm. Sedangkan biji, stek daun dan umbi belum ditemukan pustaka tentang jarak tanam yang ideal dilapangan. Selain itu informasi hasil wawancara penulis dengan petani tanaman porang di Saradan, Madiun Jawa Timur pada tanggal 29 Januari 2014, untuk bahan tanaman dari biji, stek daun dan stek umbi tidak digunakan dalam penanaman di lahan dan cenderung dibuang karena waktu untuk tumbuh besar lebih lama dibandingkan bahan tanaman porang dari bubil atau umbi. Oleh karena itu, dilapangan tidak ditemukan jarak tanam ideal untuk biji, stek daun dan stek umbi.

Dengan keadaan tanaman porang yang menghasilkan katak atau bubil maka budidaya tanamanan porang secara intensif dapat menggunakan jarak tanam awal dapat dirubah dan tidak dirubah. Perubahaan jarak tanam awal dimaksudkan agar kegiatan-kegitan budidaya dapat berjalan lebih efektif. Jarak tanam di dalam budiaya tanaman porang secara intensif dapat dibedakan 2 golongan. Dua golongan jarak tanam tersebut dapat dipilih salah satu oleh pembaca. Selanjutnya, lebih jelas tentang dua golongan jarak tanam diuraikan sebagai berikut:

i.      Jarak tanam awal diperlebar dari jarak tanam optimumnya.

 

Jarak tanam awal diperlebar menjadi dua kali atau tiga kali dari jarak optimunya. Misalnya untuk jarak tanam awal bubil dirubah menjadi 70-140 cm atau umbi dengan jarak tanam awal 70-180 cm.

Perubahan jarak tanam awal dimaksudkan untuk penanaman bubil yang jatuh dengan ukuran paling besar dari satu tanaman porang pada musim dorman pertama kali. Ukuran bubil yang besar ditanam berdampingan dengan tanaman porang pertama kali dengan jarak optimum tanaman porang. bubil yang ukuran kecil atau sisa bubil diambil dan tidak ditanam pada lahan tersebut.

Fungsi perubahan jarak tanam awal pada tanaman porang agar permudaan tanaman porang tetap terjaga dan setelah tiga tahun akan melakukan kegiatan panen tiap tahun. Selain itu, umbi atau bubil yang digunakan pertama kali tidak banyak dan tidak membutuhkan biaya dengan jumlah banyak untuk membeli umbi dan bubil. Di lain pihak, perubahan jarak tanam awal mengakibatkan panen pertama kali dari umbi tanaman porang tidak sebanyak umbi dengan jarak awal yang tidak dirubah.

ii.   Jarak tanam awal sesuai dengan jarak optimumnya.

 

Jarak tanam awal yang sesuai dengan jarak optimum tanaman porang mengakibatkan semua bubil yang jatuh pada musim dorman diambil dan tidak ditanam selama masa panen umbi. Selain itu, panen pertama kali lebih besar daripada jarak tanaman awal dirubah. Di sisi lain, jarak tanam yang tidak berubah menyebabkan permudaan tidak berjalan, panen hanya sekali, dan biaya lebih besar untuk membeli umbi dan bubil untuk ditanam pertama kali.

 

2)      Penyiangan

 

Tahap ketiga yaitu kegiatan penyiangan yang dilakukan setelah tanaman porang hidup di lahan sampai tanaman porang siap panen. Menurut informasi hasil wawancara penulis dengan petani tanaman porang di Saradan, Madiun Jawa Timur pada tanggal 29 Januari 2014, rumput dapat menganggu pertumbuhan tanaman porang sehingga umbi yang dihasilkan akan berkurang atau tidak akan menghasilkan umbi. Selain itu, rumput-rumput selalu dapat tumbuh lagi setelah dilakukan penyiangan serta rumput tumbuh pada dua masa silkus hidup dan masa dorman. Oleh karena itu, kegiatan penyiangan selalu dilakukan secara rutin apabila rumput dapat tumbuh di sekitar tanaman porang.

Kegiatan penyiangan dapat digunakan cara seperti kegiatan pembersihan lahan. Kegiatan penyiangan dengan cara manual dan kimia harus mematikan rumput sampai akar kemudian rumput yang telah mati dan busuk diletakkan di pingir-pingir setiap tanaman porang. Alasan peletakan rumput dipingir-pingir agar tanaman porang mendapatkan tambahan pupuk dari rumput yang telah membusuk.

Menurut bapak Subini 6(komunikasi pribadi, 2014) mengatakan bahwa kita dapat melakukan penyingan manual dengan waktu tidak diatur, sedangkan penyiangan kimia harus memperhatikan waktunya. Penyiangan kimia pada waktu porang mengalami siklus vegetatif dapat membunuh tanaman porang. Oleh karena itu, budidaya tanaman porang secara intensif dalam melakukan kegitan penyiangan dapat mengabungkan penyiangan manual dan penyiangan kimia dengan waktu yang sesuai. Selain itu, penyiangan manual saja juga lebih baik dilakukan tanpa ada efek samping pada tanaman porang.


3)      Pempupukan

 

Tahap keempat yaitu kegiatan pempupukan yang dilakukan pada saat tanaman porang mengalami siklus vegetatif saja. Kegiatan pempupukan dilakukan sampai tanaman porang siap panen. Menurut Suwarmoto (2004) mengatakan bahwa tanaman porang yang siap dipanen harus mengalami tiga siklus vegetatif. Oleh karena itu, Budidaya tanaman porang secara intensif menggunakan kegiatan pempupukan sebanyak tiga kali pada saat tanaman porang mengalami siklus vegetatif.

Kegiatan pempupukan harus dilakukan setelah kegiatan penyiangan dengan manual atau kimia. Agar pupuk dapat digunakan oleh tanaman porang secara keseluruhan dan tidak bersaing dengan rumput dalam mendapatkan pupuk untuk pertumbuhannya.

Kegiatan pempupukan penting karena menurut informasi hasil wawancara penulis dengan petani tanaman porang di Saradan, Madiun Jawa Timur pada tanggal 29 Januari 2014, pupuk mempunyai peranan penting dalam meningkatakan hasil umbi. Selain itu, beberapa penelitian (Deptan, 1991; Sufiani, 1993; Kurniawan, 2012) untuk meningkatkan hasil umbi tanaman porang harus diperlukan pupuk.

Kegiatan pempupukan di dalam budidaya secara intensif harus memperhatikan dosis atau ukuran pupuk yang diberikan ke tanaman porang. Dosis pupuk juga tergantung jenis pupuk yang digunakan. Secara detail mengenai jenis pupuk yang sesuai dosisnya dapat dipilih salah satu dan diuaraikan sebagai berikut;

i)     Pupuk organik

 

Penelitian kurniawan (2012) menunjukkan bahwa pupuk dengan dosis 200 gram per satuan luas 0,001 ha merupakan dosis yang efektif dan terbaik untuk meningkatkan bobot umbi tanaman porang. Apabila kita mengunakan pupuk kandang harus mamakai dosis 200 gram atau dengan kata lain 2 ton per 1 ha.

ii)   Pupuk anorganik

 

Menurut informasi hasil wawancara penulis dengan petani tanaman porang di Saradan, Madiun Jawa Timur pada tanggal 29 Januari 2014, untuk menghasilkan tanaman porang dengan hasil umbi terbaik maka dosis pupuk anorganik yang digunakan meliputi pupuk Urea dengan dosis 300 kg dicampur pupuk Ponska dengan dosis 300 kg per satuan luas 1 ha.

Kegiatan pempupukan dilakukan dengan cara meletakkan pupuk di sekitar tanaman porang dengan ukuran yang sudah dipilih jenis pupuk dengan ukaran dosisnya. Ukuran dosis per jenis pupuk yang telah diuraikan mengharuskan kita menggunakan perhitungan pupuk per tanaman porang yang ada dilahan karena ukuran dan dosis tersebut mengunakan satuan per ha.

Jenis pupuk dengan ukuran dosisnya yang diberikan tidak tergantung dengan jumlah tanaman porang dilahan pada perubahan mapun tidak ada perubahan jarak tanam awal. Jumlah tanaman porang dengan jarak tanam awal tidak dirubah dan sesuai dengan jarak optimumnya menyebabkan tanaman porang mendapatkan ukuran dosisi dan jenis pupuk yang sesuai dengan ukuran jenis dan dosis pupuk untuk tanaman porang per satuan Ha. Tanaman porang dengan jarak tanam awal dirubah mengakibatkan jumlah tanaman porang dilahan lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah tanaman porang dengan jarak tanam awal tanpa dirubah. Jumlah tanaman porang lebih sedikit pada jarak tanam awal dirubah tetapi jenis pupuk dengan dosis yang diberikan per tanaman porang lebih banyak karena digunakan untuk permudaan tanaman porang dengan bubil pada tahun berikutnya. Menurut bapak Subini 7) (Komunikasi pribadi, 2014) mengatakan bahwa jenis pupuk dengan dosis melebihi atau tidak sesuai ukurannya digunakan untuk membesarkan dan memperbanyak bubil pada tanaman porang.



4)      Pendangiran

 

Kegiatan kelima adalah kegiatan pendangiran dengan cara membalikan dan munumpukan tanah pada sekitar tanaman porang. Tujuan kegiatan pendangiran yaitu mengemburkan tanah di sekitar tanaman dalam upaya memperbaiki sifat fisik tanah (aerase tanah) dan memacu pertumbuhan tanaman porang. Apabila pertumbuhan tanaman porang terpacu maka umbi yang dihasilkan akan lebih berat.

Kegiatan pendangiran dilakukan setelah kegiatan pempupukan dilakukan pada tanaman porang. Proses kegiatan pendangiran yang dilakukan setelah kegiatan pempupukan bertujuan pupuk yang disekitar tanaman porang dapat tertutup dengan tanah dari kegiatan pendangiran. Pupuk yang tertutup dengan tanah mengakibatkan pupuk dapat terserap oleh tanaman porang dan pupuk tidak tergerus hilang oleh angin atau ganguan yang lain.

Kegiatan pendangiran di dalam tanaman porang harus dilakukan dengan hati-hati agar akar-akar tanaman porang tidak terganggu dan mati. Menurut informasi hasil wawancara penulis dengan petani tanaman porang di Saradan, Madiun Jawa Timur pada tanggal 29 Januari 2014, akar-akar tanaman porang yang terganggu akan menyebabkan kematian tanaman porang dan akhirnya umbi tidak dihasilkan. Misalnya, akar tanaman terkena alat cangkul dalam pembalikan tanah dalam proses pendangiran maka akar tersebut akan terganggu dan mati.

Kegiatan pendangiran dilakukan pada tanaman porang mengalami masa vegetatif. Hal tersebut menjadikan kegitan pendangiran dalam budidaya tanaman porang dilakukan secara rutin selama tanaman porang mengalami masa pertama kali vegetatif sampai siap panen.

5)      Pemanenan

 

Kegitan keenam dan terakhir adalah kegitan pemanenan dengan cara mengambil umbi yang dihasilkan tanaman porang pada musim kemarau. Penelitian suwarmoto (2004) mengatakan bahwa waktu panen yang tepat ialah setelah tanaman mengalami masa pertumbuhan vegetatif minimal tiga kali dan masa istirahat (dorman) dua kali (24 bulan). Selanjutnya masa vegetatif tanaman porang yang siap panen ditandai dengan batang semu atau tangkai daun tanaman terkulai disertai helaian daun berwarna kuning. Menurut informasi hasil wawancara penulis dengan petani tanaman porang di Saradan, Madiun Jawa Timur pada tanggal 29 Januari 2014, umbi yang dihasilkan lebih baik dan optimal setelah tanaman porang berumur 3 tahun. Oleh karena itu, kegiatan pemanenan di dalam budidaya tanaman porang secara intensif dilakukan setelah berumur 3 tahun dari penanaman tanaman porang. Kegiatan pemanenan juga dilakukan pada musim kemarau atau tanaman porang mengalami masa dorman.


Bab IV Analisa Usaha Budidaya Tanaman Porang Secara Intensif

 

Analisa Usaha Budidaya tanaman Porang secara intensif digunakan untuk mengetahui keuntungan maupun kerugian yang dilakukan dalam membudidayakan tanaman porang. Biaya pengeluaran dan pendapatan merupakan komponen-komponen untuk menentukan analisa usaha budidaya tanaman porang secara intensif. Analisa usaha didalam budidaya tanaman mengalami keuntungan apabila komponen pendapatan dari hasil tanaman lebih besar dari total pengeluaran selama budidaya tanaman. Keadaan tersebut sebaliknya didalam budidaya tanaman yang mengalami kerugian.

Menurut Subini 8(Komunikasi pribadi, 2014) menyatakan biaya-biaya pengeluaran di dalam budidaya tanaman porang secara intensif meliputi bahan tanaman porang, pupuk, obat pembashmi rumput dan alat-alat seperti cangkul, sabit, dan alat penyemprot. Budidaya tanaman porang secara intensif tidak memperhitungkan tenaga ke dalam biaya pengeluran karena kegiatan-kegiatan di dalam budidaya tanaman porang secara intensif dilakukan dengan tenaga sendiri.

Menurut Subini 9(Komunikasi pribadi, 2014) menyatakan bahwa pendapatan yang diperoleh dari tanaman porang lebih besar tiga kali daripada pengeluarannya. Pendapatan di dalam budidaya tanaman porang secara intensif tidak saja pada umbi tetapi pendapatan diperoleh dari bubil dari tanaman porang yang jatuh setiap musim dorman. Selain itu, pendapatan dari umbi dapat diperoleh dari umbi basah atau umbi yang baru diambil dari tanah dan dibersihkan dari tanah maupun umbi basah yang dirajang menjadi belahan umbi dan dikeringkan dengan sinar matahari (umbi kering).


       

Daftar Pustaka

Arvill, A., dan Bodin, L.,1995. Effect of short-term ingestion ofkonjac glucomannan on serum cholesterol in healthy, 61, 585–589.

Biro Pusat Statistik. (1985-2003). Statistik Luar Negeri Indonesia. Ekspor 1985-2003, Impor 1998-2003. Biro Statistik, Jakarta.

Departemen Pertanian. 1991. Iles-ies. LIPTAN. BIP Jawa Timur. November. No. 15. Agdex : 177/10.

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Edisi Bahasa Indonesia. (Terjemahan) : Badan Litbang Kehutanan Jakarta. Departemen Kehutanan, Jakarta.

Idris, A. 1972. Pengamatan jenis Amorphophallus dan tempat tumbuhnya di pulau Jawa.

Buletin Kebun Raya Bogor.

Jansen, P.C.M., C. van der Wilk, & W.L.A. Hetterscheid. Amorphophallus Blume ex Decaisne. InM. Flach and F. Rumawas (Eds.). 1996. PROSEA : Plant Resources of South-East Asia No 9. Plant yielding non-seed carbohydrates. Backhuys Publishers, Leiden. p 45-50.

Kurniawan, P., A. 2012. Skripsi : Pertumbuhan Porang (Amorphophalus mulelleri) Pada Berbagai Intensitas Naungan Dan Dosis Pupuk Kandang. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada.

Lingga, P., B. Sarwono, F. Rahardi, P.C. Rahardja, J.J. Afriastini, W. Rini, dan W.H. Apriadji. 1989. Bertanam Ubi-ubian. Penebar Swadaya. IKAPI. Jakarta.

Outsuki, T., 1968. Studies on Reserve Carbohydrates of Flour Amorphophallus Species with

Special Reference to Mannan. 81, 119-126.

Perum  Perhutani.  1995.  Iles-ile (Amorphophallus) Perum  Perhutani  Unit  II          Jawa Timur Surabaya.

Pitojo, S. 2007. Suweg. Kanisisus. Yogyakarta.

Plucknett, D.L. 1978. Tolerance of some tropical root crops and starch-producing tree crops to suboptimal land condition. InG.A. Jung (ed.). 1978. Crop tolerance to suboptimal land conditions. ASA special publ no. 32. ASA, CSSA, and SSSA, Wisconsin USA.

Sufiani,  S.  1993.  Iles-ile (Amorphophallus ) Jenis,  syara tumbuh,  budiday da standar    mutu ekspornya. Media Komunikasi Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Balitbangtan DEPTAN. Jakarta. 11-16.

Sumarwoto. 2004. Disertasi : Beberapa Aspek Agronomi Iles-Iles (Amorphophallus muelleri Blume). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Zhang, Y., Xie, B., & Gan, X., 2005. Advance in the Applications of Konjac Glucomannan and ItDerivatives.  60, 27–3