Peraturan Perundang-undangan Dalam Pengelolaan Hutan Lindung


Gambar : http://foresteract.com

Ekosistem hutan sudah sejak lama ditahbiskan mempunyai peran penting sebagai sistem penyangga kehidupan.  Berdasarkan fungsinya, ada beberapa jenis hutan yaitu hutan lindung, hutan konservasi dan hutan produksi. Stabilitas ekosistem hutan akan mempengaruhi stabilitas ekologi, yang pada gilirannya mempengaruhi stabilitas ekonomi dan sosial budaya.  Pengetahuan manusia terhadap ketiga aspek stabilitas tersebut akan mendorong perubahan pemahaman manusia terhadap pengelolaan hutan dan lahan. 

Keberadaan peraturan perundang-undangan menjadi instrument penting dalam pengelolaan hutan dan lahan.  Prinsip transparansi, partisipasi, akuntabilitas dan koordinasi menjadi penting untuk menjamin bahwa pengelolaan hutan lindung berada pada jalur yang benar dan demi kemaslahatan manusia.  Beberapa aturan terkait dengan pengelolaan hutan lindung baik pada tingkat internasional maupun nasional antara lain:
1.               Prinsip Internasional
Pentingnya tata kelola hutan yang baik dimulai sejak sejak pertemuan pembangunan berkelanjutan yang merupakan hasil dari KTT Bumi di Rio de Jainero pada tahun 1992, yang tercantum dalam “Forest Principle” yang memberikan arahan pembangunan sumberdaya hutan secara holistik bagi seluruh elemen ekosistem demi keberlanjutan (Mongabay.co.id, 2019).  Beberapa prinsip yang relevan diantaranya adalah:

Negara memiliki hak berdaulat dan tidak dapat dicabut untuk memanfaatkan, mengelola dan mengembangkan hutan mereka sesuai dengan kebutuhan dan tingkat pembangunan mereka pembangunan sosial-ekonomi dan atas dasar kebijakan nasional yang konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan perundang-undangan, termasuk konversi area tersebut untuk penggunaan lain dalam keseluruhan rencana pembangunan sosial-ekonomi dan berdasarkan pada kebijakan penggunaan lahan yang rasional (Prinsip 2a) (General Assembly, 1992)

Sumber daya hutan dan lahan hutan harus dikelola secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan sosial, ekonomi, ekologis, budaya dan spiritual generasi sekarang dan mendatang. Kebutuhan ini adalah untuk produk dan jasa hutan, seperti kayu dan produk kayu, air, makanan, pakan ternak, obat-obatan, bahan bakar, tempat tinggal, pekerjaan, rekreasi, habitat satwa liar, keanekaragaman bentang alam, penyerap dan penampung karbon, dan untuk produk hutan lainnya. Langkah-langkah yang tepat harus diambil untuk melindungi hutan terhadap dampak berbahaya dari polusi, termasuk polusi yang ditularkan melalui udara, kebakaran, hama dan penyakit, untuk mempertahankan multiple value (Prinsip 2b) (General Assembly, 1992)

Pemerintah harus mempromosikan dan memberikan peluang bagi partisipasi pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk masyarakat lokal dan masyarakat adat, industri, tenaga kerja, organisasi non-pemerintah dan individu, penghuni hutan dan perempuan, dalam pengembangan, implementasi dan perencanaan kebijakan hutan nasional (Prinsip 2d) (General Assembly, 1992)
Meskipun “Forest Principle” tidak bersifat mengikat secara hukum (non legally binding), tetapi prinsip ini merupakan norma dasar bagi tata kelola yang harus dilaksanakan oleh negara-negara yang menandatanganinya.


2.             Peraturan Perundangan di Indonesia
a.             UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Undang-Undang ini merupakan pengganti dari Undang-Undang nomor 5/1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan.  Undang-undang nomor 41/1999 membawa nuansa pengaturan yang memiliki perbedaan mendasar dengan masukkan peran serta masyarakat, hak masyarakat atas informasi kehutanan dan keterlibatan dalam pengelolaan hutan secara umum.
Menurut UU ini, hutan lindung merupakan Kawasan hutan yang karena keadaan sifat alamnya diperuntukan guna mengatur tata air, pencegahan bencana banjir dan erosi serta pemeliharaan kesuburan tanah.  Selanjutnya disebutkan bahwa pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu.  Pemanfaatan hutan lindung dilaksanakan melalui pemberian ijin usaha pemanfaatan kawasan, ijin usaha pemanfaatan jasa lingkungan dan ijin pemungutan hasil hutan buka  kayu.
b.             UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Undang-Undang Penataan Ruang nomor 26 tahun 2007 yang menggantikan Undang-Undang nomor 24 tahun 1992. Dalam UU 26/2007 penataan ruang ditujukan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Dengan tujuan tersebut, penataan ruang pada akhirnya diharapkan menjadi sebuah titik temu yang harmonis antara penggunaan sumber daya alam dan dan pemanfaatan ruang sekaligus mencegah terjadinya dampak negatif akibat pemanfaatan ruang.  Sifat mendasar dari penataan ruang adalah mewujudkan sebuah keterpaduan dan keserasian pemanfaatan ruang pada berbagai sektor sehingga pelaksanaan penataan ruang yang konsisten akan meminimalisasi konflik dan meningkatkan keterpaduan antar sektor serta wilayah (Mongabay.co.id, 2019).
Menurut UU ini, penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budidaya.  Peruntukan kawasan lindung dan kawasan budidaya meliputi peruntukan ruang untuk kegiatan pelestarian lingkungan, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan dan keamanan.
Kawasan lindung merupakan wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.  Sedangkan, kawasan budidaya merupakan wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan.
Pada penjelasan Pasal ayat (2), yang termasuk dalam kawasan lindung adalah kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya, kawasan perlindungan setempat, kawasan suaka alam dan cagar budaya, kawasan rawan bencana alam dan kawasan lindung lainnya.  Hutan lindung dalam undang-undang ini termasuk pada kawasan yang memberikan perlindungan bawahannya.
c.              UU N0 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
Ketentuan dalam peraturan ini secara garis besar memberikan landasan bagi publik untuk dapat memperoleh informasi, dan memperkuat badan publik untuk menyiapkan infrastruktur maupun sumber daya manusia. Dalam hubungannya tata kelola hutan, informasi kehutanan dapat diperoleh dan merupakan hak masyarakat yang diatur lewat badan publik yang mengurusi pengelolaan hutan.
Kementerian Kehutanan menindaklanjuti undang-undang ini dengan  menerbitkan Permenhut No. 2 tahun 2010 tentang Sistem Informasi Kehutanan dan Permenhut No. 7 tahun 2011 tentang Pelayanan Informasi Publik dilingkup Kementerian Kehutanan (Mongabay.co.id, 2019).
d.             UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-undang ini merupakan revisi dari Undang-Undang nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam hubungannya dengan tata kelola hutan dan lahan, undang-undang ini menyinggung perihal kebakaran hutan, dimana lewat perundangan ini memberikan kewenangan bagi Kementerian Lingkungan hidup untuk menentukan kriteria baku kerusakan lingkungannya (Mongabay.co.id, 2019).
Undang-undang ini mempertegas komitmen bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap WNI sebagaimana Pasal 28H UUD 1945.  Setiap orang wajib melindungi dan mengelola lingkungan hidup untuk generasi sekarang dan masa depan.  Oleh karena itu, negara harus menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. 
e.             UU No 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
Undang-undang ini menegaskan bahwa perusakan hutan merupakan kejahatan yang berdampak luar biasa, terorganisasi dan lintas negara dengan modus operandi yang canggih (extraordinary crime). 
Pada Pasal 3 disebutkan bahwa pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan bertujuan
a.    menjamin  kepastian hukum dan memberikan efek jera bagi pelaku perusakan hutan;
b.   menjamin keberadaan hutan secara berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian dan tidak merusak lingkungan serta ekosistem sekitarnya;
c.    mengoptimalkan pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan dengan memperhatikan keseimbangan fungsi hutan guna terwujudnya masyarakat sejahtera; dan
d.   meningkatnya kemampuan dan koordinasi aparat penegak hukum dan pihak-pihak terkait dalam menangani pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.


Referensi:
General Assembly. (1992). Report of the United Nations Conferences on Environment and Development A/CONF.151/26 (Vol. III). Rio de Janeiro.
Mongabay.co.id. (2019). Hukum dan Perundangan yang Berhubungan dengan Tata Kelola Hutan dan Lahan. Retrieved June 25, 2019, from https://www.mongabay.co.id/hukum-dan-perundangan-yang-berhubungan-dengan-tata-kelola-hutan-dan-lahan/

0 komentar:

Posting Komentar