Wilayah pesisir secara ekologis adalah suatu wilayah peralihan antara ekosistim darat dan laut, ke arah darat mencakup daratan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses kelautan sedangkan ke arah laut meliputi perairan laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alamiah dan kegiatan manusia di daratan. Kawasan pesisir terdapat beberapa ekosistem vital seperti ekosistem terumbu karang, ekosistem padang lamun dan ekosistem hutan mangrove. Ketiga ekosistem tersebut memiliki peranan yang sangat penting bagi organisme baik di darat maupun di laut.
Hutan mangrove merupakan habitat bagi berbagai organisme baik darat maupun laut (mamalia dan amphibi) seperti kepiting, udang, ikan, monyet dan lain sebagainya. Ekosistem hutan mangrove memiliki fungsi ekologis, ekonomis dan sosial yang penting dalam pembangunan, khususnya di wilayah pesisir. Meskipun demikian, kondisi hutan mangrove di Indonesia terus mengalami kerusakan dan pengurangan luas dengan kecepatan kerusakan mencapai 530.000 ha/tahun (Anwar, 2006). Ekosistem mangrove di Indonesia memiliki keragaman hayati yang tertinggi di dunia dengan jumlah total kurang lebih 89 spesies, yang terdiri dari 35 spesies tanaman, 9 spesies perdu, 9 spesies liana, 29 spesies epifit dan 2 spesies parasitik. Beberapa jenis umum yang dijumpai di Indonesia adalah Bakau (Rhizophora), Api-api (Avicennia), Pedada (Sonneratia), Tanjang (Bruguiera), Nyirih (Xylocarpus) (Nontji, 1987)
Dewasa ini, pengelolaan lingkungan secara terpadu disinyalir terbukti memberikan peluang pengelolaan yang cukup efektif dalam rangka menyeimbangkan antara pelestarian lingkungan dan pemanfaatan ekonomi. Salah satu metode rehabilitasi yang memungkinkan peran aktif masyarakat adalah penerapan teknologi silvofishery. Silvofishery adalah sistem pertambakan teknologi tradisional yang menggabungkan antara usaha perikanan dengan penanaman mangrove, yang diikuti konsep pengenalan sistem pengelolaan dengan meminimalkan input dan mengurangi dampak terhadap lingkungan.
Ada 2 (dua) sistem penanaman yang dapat dilaksanakan adalah penanaman murni (dengan sistem banjar harian) dan sistem tumpang sari tambak (sylvofishery) yaitu :
1. Penanaman murni dengan sistem banjar harian Teknik penanaman murni dengan sistem banjar harian dilaksanakan sebagai berikut : a. Jarak tanam disesuaikan dengan kondisi lapangan dengan jumlah bibit 5.500 batang/ha. b. Di dekat ajir dibuat lubang tanam sebesar kantong plastik bibit. c. Bibit dalam kantong plastik disobek bagian bawahdengan hati-hati supaya tanah tetap kompak dan perakaran tidak rusak. d. Ditanam dekat ajir, dan apabila tanahnya sangat lunak atau mudah hanyut sebaiknya diikatkan dengan tali pada ajir agar bibit tidak roboh. Pada tapak berombak besar disarankan ditanami dengan jenis Rhizophora sp dengan pola selang seling, anakan diikat pada tiang pancang/bambu serta dibuat penghalang ombak e. Penanaman pada tapak berlumpur dalam sebaiknya menggunakan jenis Rhizophora mucronata .
2. Sistem tumpangsari tambak a. Penanaman tumpang sari tambak dilaksanakan seperti halnya dengan sistem banjar harian akan tetapi dikombinasikan dengan kegiatan pertambakan. Penananam selain pada jalur tanam juga dapat dilakukan di pelataran tambak. b. Jarak tanam disesuaikan dengan kondisi lapangan dengan jumlah bibit 2.200 batang/ha termasuk sulaman c. Pola tumpang sari tambak terdiri dari 4 (empat) macam pola yaitu pola empang parit tradisional, pola komplangan, empang parit terbukla dan pola kao-kao.
Kawasan ekosistem hutan mangrove perlu adanya zona pemanfaatan. Zona pemanfaatan dalam hal ini diperuntukan bagi kegiatan sylvofishery yang diharapkan dapat tetap memberikan lapangan kerja bagi petani di sekitar kawasan tanpa merusak hutan itu sendiri dan adanya pemerataan luas lahan bagi masyarakat. Harapan ini dapat terwujud dengan catatan tidak ada pemilik modal yang menguasai lahan secara berlebihan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, harus ada ikatan perjanjian antara pengelola tambak dan Dinas Kehutanan, yang antara lain berisi kewajiban bagi pengelola tambak untuk menjaga kelestarian hutan serta sanksi bagi pengelola tambak mengingkari kewajibannya.
Dengan pengembangan kegiatan sylvofishery secara lebih tertata dan perbandingan antara hutan dan tambak sebesar 80% : 20%, diharapkan dapat meningkatkan produksi per satuan luas dan hasil tangkapan udang liar. Harapan tersebut didasarkan pada asumsi bahwa hutan di sekitar kolam yang lebih baik akan meningkatkan kesuburan kolam dengan banyaknya detritus, yang secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap produksi udang. Di samping itu, hutan yang lebih baik akan menjadi tempat mengasuh anak yang cukup bagi, melindungi udang dari suhu yang tinggi dan menyediakan makanan yang lebih banyak bagi udang dan ikan. Lebih lanjut, daun mangrove yang jatuh diduga mengandung alelopaty dapat mengurangi keberadaan penyakit ikan dalam tambak. Dalam konteks yang umum mangrove dikenal sebagai sumber detritus bagi ekosistem laut dan estuari dan menyokong kehidupan berbagai organisme akuatik. Produksi jatuhan serasah di mangrove akan masuk ke dalam sistem estuari yang menjadi dasar bagi jaring-jaring makanan kompleks.