WANAWIYATA WIDYAKARYA WANA LESTARI PANGONAN

 WANA LESTARI PANGONAN

 PELATIHAN DAN PEMAGANGAN

(BUDIDAYA – PROSES – ROASTING – PAKAGING KOPI ORGANIK , PEMBUATAN PUPUK ORGANIK,MOL DAN PESNAB )
oleh SRI HASTUTI, SP






Wanawiyata Widyakarya  merupakan lembaga pelatihan dan pemagangan kegiatan masyarakat yang dimiki oleh kelompok masyarakat / perorangan secara swadaya.

Kelompok Tani Wana Lestari pangonan Desa Gunungsari Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati, provinsi jawa Tengah merupakan kelompok masyarakat yang bergerak dibidang kegiatan pemberdayaan petani dalam kegiatan budidaya Kopi Organik dibawah tegakan, pengolahan pupuk organik yang bukan hanya mencari keuntungan (profiet orited) akan tetapi bergerak juga dalam pemberdayaan masyarakat yang berminat agribisnis melakukan pelatihan dan pendampingan sertakerja sama dengan berbagai pihak .

Adapun Usaha yang dihasilkan antara lain : Pengolahan kopi Organik, Pengolahan kopi bubuk yang dibudidayakan secara organik dan sudah mendapatkan sertifikat organik ICERT dari 

Lembaga Sertifikasi Organik KAN.

 

Kelompok Tani Wana Lestari Pangonan merupakan Kelompok yang Melakukan Kegiatan Wawiyata Widyakarya yaitu tempat peltihan dan pemagang bagi kelompok masyarakat, dinas instansi maupun perorangan yang akan belajar agribisnis perkopian dan pembuatan pupuk organik .

Adapun paket yang kami tawarkan adalah :

Paket A adalah Pelatihan Budidaya Kopi dari Hulu Sampai Hilir.

( Ilmu Budidaya, Proses Pasca panen, Roasting, Packing )

-       paket materi :

Pembelajaran secara lengkap dan profesional tentang Ilmu Budidaya kopi secara Organik, proses pasca panen sesuai SOP organik proses roasting sampai dengan packaging yang baik dan sesuai setandar Organik.

Materi Kulikurim :

~ Waktu Pelatihan : Pelatihan dilakukan selama : 3 hari

Tiap hari 6 Jam.

~ Materi :

1.   Budidaya Kopi

-      Teori Budidaya organik

-      Parktek Budidaya kopi

-      Pemeliharaan Tanaman

2.   Proses pasca panen

-      Teori Pasca Panen sesuai SOP organik.

-      Praktek Pasca Panen.

3.   Roasting dan Packaging.

-      Praktek sangrai dan granding

-      Materi Packaging

-      Praktek Packaging

  

A.   PAKET B

PELATIHAN PEMBUATAN PUPUK ORGANIK DAN MOL

Pembelajaran secara lengkap pembuatan pupuk organik dan pembuatan MOL, Pestisida Nabati

Waktu pelatihan :2 hari Tiap hari 6 jam.

-      Materi :

1.   Pembuatan MOL

-      Teori dan Praktek pembuatan MOL.

2.   Pembuatan Pupuk Organik

-      Teori dan Praktek

3.   Pembuatan Berbagai macam Pestisida nabati

-              Eori dan Praktek pembuatan pestisdida nabati.

HARGA PAKET :

Paket A : RP.3.500.000

Paket B : RP. 2.000.000

Paket A & B : Rp. 5.000.000

Harga Paket ( Makan, Minum, Snack, Penginapan, Bahan baku Praktek, Instruktur, dan Pemateri )


SEKRETARIAT : Ds.Gunungsari Rt 02 /03

Email : kth.wanalestaripangonan@gmail.com

Kontak :

1. Ngarjono

Hp :085225195725

 

2. Waharto

Hp : 085225453554

SILVOFISHERY, MELAKUKAN BUDIDAYA SEKALIGUS KONSERVASI

 



Silvofishery atau  juga disebut Wanamina merupakan suatu pola agroforestri yang digunakan dalam pelaksanaan program perhutanan sosial di kawasan hutan mangrove. Petani dapat memelihara ikan dan udang atau jenis komersial lainnya untuk menambah penghasilan, di samping itu ada kewajiban untuk memelihara hutan Mangrove. Jadi prinsip silvofishery adalah perlindungan tanaman mangrove dengan memberikan hasil dari sektor perikanan. Sistem ini mampu menambah pendapatan masyarakat dengan tetap memperhatikan kelestarian hutan mangrove. Silvofishery yang telah dikembangkan selama ini menggunakan jenis Rhyzophora sp.

Silvofishery merupakan Pengelolaan terpadu mangrove-tambak diwujudkan dalam bentuk sistem budidaya perikanan yang memasukkan pohon mangrove sebagai bagian dari sistem budidaya yang dikenal dengan sebutan wanamina (silvofishery). Silvofishery pada dasarnya ialah perlindungan terhadap kawasan mangrove dengan cara membuat tambak yang berbentuk saluran yang keduanya mampu bersimbiosis sehingga diperoleh kuntungan ekologis dan ekonomis (mendatangkan penghasilan tambahan dari hasil pemeliharaan ikan di tambak.

Pemanfaatan mangrove untuk silvofishery saat ini mengalami perkembangan yang pesat, karena system ini telah terbukti mendatangkan keuntungan bagi pemerintah dan nelayan secara ekonomis. Fungsi mangrove sebagai nursery ground sering dimanfaatkan untuk kepentingan pengembangan perikanan (sivofishery). Keuntungan ganda telah diperoleh dari simbiosis ini. Selain memperoleh hasil perikanan yang lumayan, biaya pemeliharaannya pun murah, karena tanpa harus memberikan makanan setiap hari. Hal ini disebabkan karena produksi fitoplankton sebagai energi utama perairan telah mampu memenuhi sebagai energi utama perairan telah mampu memenuhi kebutuhan perikanan tersebut. Oleh karena itu keberhasilan silvofishery sangat ditentukan oleh produktivitas fitoplankton.

Secara umum terdapat tiga model tambak wanamina, yaitu; model empang parit, komplangan, dan jalur. Selain itu terdapat pula tambak sistem tanggul yang berkembang di masyarakat. Pada tambak wanamina model empang parit, lahan untuk hutan mangrove dan empang masih menjadi satu hamparan yang diatur oleh satu pintu air. Pada tambak wanamina model komplangan, lahan untuk hutan mangrove dan empang terpisah dalam dua hamparan yang diatur oleh saluran air dengan dua pintu yang terpisah untuk hutan mangrove dan empang.

Tambak wanamina model jalur merupakan hasil modifikasi dari tambak wanamina model empang parit. Pada tambak wanamina model ini terjadi penambahan saluran-saluran di bagian tengah yang berfungsi sebagai empang. Sedangkan tambak model tanggul, hutan mangrove hanya terdapat di sekeliling tanggul. Tambak jenis ini yang berkembang di Kelurahan Gresik dan Kariangau Kodya Balikpapan. Berdasarkan 3 pola wanamina dan pola yang berkembang di masyarakat, direkomendasikan pola wanamina kombinasi empat parit dan tanggul. Pemilihan pola ini didasarkan atas pertimbangan:
Penanaman mangrove di tanggul bertujuan untuk memperkuat tanggul dari longsor, sehingga biaya perbaikan tanggul dapat ditekan dan untuk produksi serasah.

Penanaman mangrove di tengah bertujuan untuk menjaga keseimbangan perubahan kualitas air dan meningkatkan kesuburan di areal pertambakan. Luas permukaan air di dalam tambak budidaya jenis mang-rove yang biasanya ditanam di tanggul adalah Rhizophora sp. dan Xylocarpus sp. Sedangkan untuk di tengah/pelataran tambak adalah Rhizophora sp. Jarak tanam mangrove di pelataran umumnya 1m x 2m pada saat mangrove masih kecil. Setelah tumbuh membesar (4-5 tahun) mangrove harus dijarangkan. Tujuan penjarangan ini untuk memberi ruang gerak yang lebih luas bagi komoditas budidaya. Selain itu sinar matahari dapat lebih banyak masuk ke dalam tambak dan menyentuh dasar pelataran, untuk meningkatkan kesuburan tambak

 

PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE BERBASIS MASYARAKAT


  

I.          Pendahuluan

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan panjang garis pantai kira-kira 81.000 km serta wilayah laut pedalaman dan teritorialnya seluas 3,1 juta km2 dan Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia seluas 2,7 km2 (Dahuri, 2001 dalam  Handayani, 2004).  Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia mempunyai kekayaan sumberdaya hayati pesisir dan lautan yang sangat besar.  Salah satu kekayaan tersebut adalah hutan mangrove, yang luasnya di Indonesia pada Tahun 2006 – 2007 diperkirakan 6.892.261,595 Ha (Data RLPS, 2007).

Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove tumbuh pada pantai-pantai yang terlindung atau pantai-pantai yang datar, biasanya di sepanjang sisi pulau yang terlindung dari angin atau di belakang terumbu karang di lepas pantai yang terlindung (Nontji, 1987; Nybakken, 1992). 

Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis, namun labil.  Dikatakan kompleks karena ekosistemnya di samping dipenuhi oleh vegetasi mangrove, juga merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Jenis tanah yang berada di bawahnya termasuk tanah perkembangan muda (saline young soil) yang mempunyai kandungan liat yang tinggi dengan nilai kejenuhan basa dan kapasitas tukar kation yang tinggi. Kandungan bahan organik, total nitrogen, dan ammonium termasuk kategori sedang pada bagian yang dekat laut dan tinggi pada bagian arah daratan (Kusmana, 1994).  Bersifat dinamis karena hutan mangrove dapat tumbuh dan berkembang terus serta mengalami suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh alaminya. Dikatakan labil karena mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali seperti sediakala. 

Di masa lalu, paradigma pembangunan lebih memprioritaskan masyarakat perkotaan dan pertanian pedalaman, sedangkan masyarakat pesisir kurang diperhatikan.  Sudah saatnya memang paradigma tersebut dirubah dengan memberikan perhatian yang sama terhadap masyarakat pesisir karena mereka juga adalah warga negara Indonesia.  Konsekuensinya, justru masyarakat pesisir perlu mendapatkan perhatian khusus karena ketertinggalan mereka akibat paradigma masa lampau. Yang perlu dilakukan adalah pemberdayaan masyarakat pesisir. Karenanya, arah kebijakan sekarang ini untuk pemberdayaan masyarakat, umumnya bukan lagi ditekankan pada pembangunan (development) dalam arti memberikan barang atau uang kepada masyarakat, tetapi dengan pelatihan dan pendampingan selama beberapa waktu - perlu waktu bertahun-tahun - agar masyarakat mempunyai kemampuan manajemen (pengelolaan).

 

 

 

  II.          Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat

Pengelolaan Berbasis Masyarakat atau biasa disebut Community Based Management (CBM) menurut Nikijuluw (1994) merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya alam, misalnya perikanan, yang meletakkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaannya.  Pengelolaan Berbasis Masyarakat dapat diartikan sebagai sustu sistem pengelolaan sumberdaya alam di suatu tempat dimana masyarakat lokal di tempat tersebut terlibat secara aktif dalam proses pengelolaan sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya.

Di Indonesia Pengelolaan Sumberdaya berbasis Masyarakat sebenarnya telah ditetapkan dalam Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Ketentuan tersebut secara tegas menginginkan agar pelaksanaan penguasaan negara atas sumberdaya alam khususnya sumberdaya pesisir dan lautan diarahkan kepada tercapainya manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat banyak, dan juga harus mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan sekaligus memperbaiki kehidupan masyarakat pesisir serta memajukan desa-desa pantai.

Dalam Implementasinya, pola pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan yang selama ini sangat bertentangan dengan apa yang telah digariskan dalam pasal tersebut, pelaksanaannya masih bersifat top down, artinya semua kegiatan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan mulai dari membuat kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan monitoring dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah tanpa melibatkan partisipasi masyarakat lokal, padahal apabila dilihat karakteristik wilayah pesisir dan lautan baik dari segi sumberdaya alam maupun dari masyarakatnya sangat kompleks dan beragam, sehingga dalam pengelolaan wilayah pesisir dan lautan seharusnya secara langsung melibatkan masyarakat lokal.

Atas dasar tersebut dan dengan adanya kebijakan pemerintah Republik Indonesia tentang Otonomi Daerah dan desentralisasi dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan, maka sudah semestinya bila pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir secara langsung melibatkan partisipasi masyarakat lokal baik dalam perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi, sehingga mampu menjamin kesejahteraan dan kelangsungan hidup masyarakat lokal serta kelestarian pemanfaatan sumberdaya pesisir tersebut.

Menurut Harbinson dan Myers2 dalam bukunya Manpower and Education : Country Studies in Economic Development menyatakan bahwa In the final analysis, the wealth of a country is based upon its power to develop and to effectively utilize the innate capacities of its people. Merujuk dari asumsi tersebut dalam rangka mengantisipasi penyelenggaraan Otonomi Daerah yang mandiri dan bertanggung jawab, maka diperlukan masyarakat yang memiliki kemampuan untuk mendayagunakan secara efektif kekayaan alam bagi kemakmuran rakyat. Dalam kaitan ini, pengembangan masyarakat pantai merupakan bagian integral dari pengelolaan sumber pesisir dan laut bagi kemakmuran masyarakatnya, sehingga perlu digunakan suatu pendekatan dimana masyarakat sebagai obyek sekaligus sebagai subyek pembangunan.

 

 III.       Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat dengan Mengupayakan Pengembangan Masyarakat Pantai.

Strategi pengembangan masyarakat pantai dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu, yang bersifat struktural dan non struktural. Pendekatan struktural adalah pendekatan makro yang menekankan pada penataan sistem dan struktur sosial politik. Pendekatan ini mengutamakan peranan instansi yang berwewenang atau organisasi yang dibentuk untuk pengelolaan pesisir laut. Dalam hal ini peranan masyarakat sangat penting tetapi akan kurang kuat karena aspek struktural biasanya lebih efektif bila dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai kewenangan, paling tidak pada tahap awal.

Di lain pihak pendekatan non struktural adalah pendekatan yang subyektif.  Pendekatan ini mengutamakan pemberdayaan masyarakat secara mental dalam rangka meningkatkan kemampuan anggota masyarakat untuk ikut serta dalam pengelolaan dan persoalan pesisir laut. Kedua pendekatan tersebut harus saling melengkapi dan dilaksanakan secara integratif.

1.       Pendekatan struktural.

Sasaran utama pendekatan struktural adalah tertatanya struktur dan sistem hubungan antara semua komponen dan sistem kehidupan, baik di wilayah pesisir dan laut maupun komponen pendukung yang terkait, termasuk komponen sosial, ekonomi dan fisik.  Dengan penataan aspek struktural, diharapkan masyarakat mendapatkan kesempatan lebih luas untuk dapat memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan.  Selain itu penataan struktur dan sistem hubungan sosial dan ekonomi tersebut diharapkan dapat menciptakan peluang bagi masyarakat untuk ikut serta melindungi sumber daya alam dari ancaman yang datang baik dari dalam maupun dari luar. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi bahkan menghilangkan masalah-masalah sosial dan ekonomi yang utama yang selama ini secara terus menerus menempatkan masyarakat (lokal) pada posisi yang sulit. Pendekatan struktural membutuhkan langkah-langkah strategi sebagai berikut :

a. Pengembangan Aksesibilitas Masyarakat pada SumberDaya alam

Aksesibilitas masyarakat terhadap sumber daya alam adalah salah satu isu penting dalam rangka membangun perekonomian masyarakat. Langkah tersebut diharapkan dapat membantu masyarakat untuk dapat menikmati peluang pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan (sustainable).

b. Pengembangan aksesibilitas masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan.

Keberhasilan pengembangan masyarakat sebagai bagian dari pengelolaan pesisir dan laut sangat tergantung pada ketepatan kebijakan yang diambil. Kebijakan yang dikembangkan dengan melibatkan dan memperhatikan kepentingan masyarakat dan menjamin keberhasilan pengelolaan sumber daya alam dan wilayah. Keterlibatan masyarakat sangat diperlukan karena akan menghasilkan kebijakan yang disesuaikan dengan potensi, aspirasi dan kepentingan masyarakat. Kebijakan yang berbasis pada potensi masyarakat akan mendorong keterlibatan masyarakat dalam pemanfaatan dan perlindungan sumber daya alam. Selain itu juga memberikan keuntungan ganda : pertama, dengan mengakomodasi aspirasi masyarakat maka pengelolaan pesisir dan laut akan menarik masyarakat sehingga akan mempermudah proses penataan. Kedua,memberikan peluang bagi masyarakat untuk ikut bertanggung jawab atas keamanan pesisir dan laut. Selain itu yang lebih penting lagi adalah adanya upaya untuk meningkatkan kepentingan hakiki masyarakat yaitu kesejahteraan.

c. Peningkatan aksebilitas masyarakat terhadap informasi.

Informasi merupakan salah satu aspek penting dalam pengembangan masyarakat pantai sebagai bagian dari pengelolaan pesisir dan laut. Kesediaan informasi mengenai potensi

dan perkembangan kondisi wilayah dan sumber daya alamnya sangat berharga untuk penyusunan kebijakan, program dan kegiatan di wilayah tersebut.

d. Pengembangan kapasitas kelembagaan.

Untuk meningkatkan peran masyarakat dalam perlindungan wilayah dan sumber daya alam, diperlukan kelembagaan sosial, untuk mendorong peranan masyarakat secara

kolektif. Semangat kolektif akan mendorong upaya pemberdayaan masyarakat untuk melindungi wilayahnya dari kerusakan yang dapat mengancam perekonomian.  Pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan lembaga sosial diharapkan untuk memperkuat posisi masyarakat dalam menjalankan fungsi manajemen wilayah pesisir dan laut

e. Pengembangan sistem pengawasan berbasis masyarakat.

Keberadaan sistem pengawasan yang efektif merupakan syarat utama keberhasilan

pengembangan masyarakat sebagai bagian dari pengelolaan wilayah pesisir dan laut.  Sistem pengawasan tersebut harus mampu menjalankan fungsinya dengan cara memobilisasi semua unsur terkait. Salah satu pendekatan yang efektif adalah pengembangan sistem pengawasan berbasis pada masyarakat. Sistem pengawasan yang

berbasis pada masyarakat adalah suatu sistem yang dilandasi oleh kepentingan, potensi

dan peranan masyarakat lokal. Untuk itu, sistem pengawasan yang berbasis pada masyarakat tersebut selain memberikan peluang bagi masyarakat untuk ikut mengawasi

sumber daya alam dan wilayah tempat mereka tinggal dan mencari makan, juga memperkuat rasa kebersamaan masyarakat dalam mengembangkan potensi daerahnya.

Hal ini dapat dilakukan melalui lembaga sosial masyarakat pantai (nelayan).

f. Pengembangan jaringan pendukung.

Pengembangan koordinasi tersebut mencakup pembentukan sistem jaringan manajemen yang dapat saling membantu. Koordinasi melibatkan seluruh unsur terkait (stakeholders), baik jaringan pemerintah, masyarakat maupun dunia usaha.

2.       Pendekatan Subyektif.

Pendekatan subyektif (non struktural) adalah pendekatan yang menempatkan manusia sebagai subyek yang mempunyai keleluasaan untuk berinisiatif dan berbuat menurut kehendaknya. Pendekatan tersebut berasumsi bahwa masyarakat lokal dengan pengetahuan, keterampilan dan kesadarannya dapat meningkatkan peranannya dalam perlindungan sumber daya alam disekitarnya. Karena itu, salah satu upaya untuk meningkatkan peran masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam dan wilayah pesisir dan laut adalah dengan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kesadaran masyarakat untuk berbuat sesuatu demi melindungi sumber daya alam. Pengetahuan dan keterampilan tersebut tidak harus berkaitan langsung dengan

upaya-upaya penanggulangan masalah kerusakan sumberdaya alam tetapi juga hal-hal yang berkaitan dengan usaha ekonomi, terutama dalam rangka membekali masyarakat dengan usaha ekonomi alternatif sehingga tidak merusak lingkungan, antara lain yaitu :

a. Peningkatan pengetahuan dan wawasan lingkungan.

b. Pengembangan keterampilan masyarakat

c. Pengembangan kapasitas masyarakat.

d. Pengembangan kualitas diri

e. Peningkatan motivasi masyarakat untuk berperanserta

f. Penggalian & pengembangan nilai tradisional masyarakat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  1. Kesimpulan

1)             Pengelolaan Berbasis Masyarakat dapat diartikan sebagai sustu sistem pengelolaan sumberdaya alam di suatu tempat dimana masyarakat lokal di tempat tersebut terlibat secara aktif dalam proses pengelolaan sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya.

2)                  Strategi pengembangan masyarakat pantai dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu,