PERHUTANAN SOSIAL

Yang dimasuk dengan Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau Hutan Hak/Hutan Adat yang dilaksanakan oleh Masyarakat Setempat atau Masyarakat Hukum Adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat dan kemitraan kehutanan.

Pengelolaan Perhutanan Sosial terdiri atas:

a.     Hutan Desa (HD) adalah kawasan hutan yang belum dibebani izin, yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa;

b.    Hutan Kemasyarakatan (HKm) adalah kawasan hutan yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat;

c.     Hutan Tanaman Rakyat (HTR) adalah hutan tanaman pada Hutan Produksi yang dibangun oleh kelompok Masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas Hutan Produksi dengan menerapkan sistem silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan;

d.    Hutan Adat adalah hutan yang berada di dalam wilayah Masyarakat Hukum Adat; dan

Kemitraan kehutanan adalah kemitraan yang diberikan kepada pemegang perizinan usaha Pemanfaatan Hutan atau pemegang persetujuan penggunaan kawasan hutan dengan mitra/Masyarakat untuk memanfaatkan hutan pada kawasan Hutan Lindung atau kawasan Hutan Produksi.
 
 
 

Kawasan hutan yang ditujukan untuk pengelolaan Perhutanan Sosial adalah :

1)    Hutan Konservasi, diberikan dalam bentuk Kemitraan Kehutanan, yang selanjutnya disebut Kemitraan Konservasi;

2)    Hutan Lindung, dapat diberikan Persetujuan Pengelolaan HD, HKm, dan/atau kemitraan kehutanan;

3)    Hutan Produksi, dapat diberikan Persetujuan Pengelolaan HD, HKm, HTR dan/atau kemitraan kehutanan

Arahan areal Pengelolaan Perhutanan Sosial ditetapkan oleh Menteri dalam bentuk Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS), yaitu peta yang memuat areal kawasan hutan yang dicadangkan untuk Perhutanan Sosial.

PIAPS meliputi :

 a)  kawasan hutan yang dicadangkan untuk Perhutanan Sosial;

b)    kawasan hutan yang sudah dibebani Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial; dan

c)    Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) untuk kepentingan Perhutanan Sosial.

KHDPK adalah kawasan hutan negara dengan fungsi lindung dan produksi di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten yang pengelolaannya tidak diserahkan kepada badan usaha milik negara bidang kehutanan.

PIAPS ditetapkan oleh Menteri, dan direvisi setiap 6 (enam) bulan sekali oleh pejabat pimpinan tinggi madya yang bertanggung jawab di bidang planologi kehutanan atas nama Menteri.

Pengelolaan Perhutanan Sosial secara hukum/aturan diberikan oleh Menteri dalam bentuk persetujuan atau penetapan.

Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial meliputi:

a. Persetujuan Pengelolaan HD;

b. Persetujuan Pengelolaan HKm;

c. Persetujuan Pengelolaan HTR; dan

d. Persetujuan kemitraan kehutanan.

Penetapan hanya ditujukan untuk menetapkan status Hutan Adat.

Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial dapat diberikan kepada:

a. Perseorangan;

b. kelompok tani hutan; atau

c. koperasi.

Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial bukan merupakan hak kepemilikan atas kawasan hutan.

Persetujuan Pengelolaan HD, Persetujuan Pengelolaan HKm, dan Persetujuan Pengelolaan HTR diberikan untuk jangka waktu 35 (tiga puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang.

Jangka waktu Persetujuan Kemitraan Kehutanan pemegang perizinan usaha Pemanfaatan Hutan atau pemegang persetujuan penggunaan kawasan hutan dengan Masyarakat Setempat disesuaikan dengan masa berlakunya perizinan usaha Pemanfaatan Hutan dan masa berlakunya persetujuan penggunaan kawasan hutan.

Untuk membantu percepatan akses dan peningkatan kualitas Pengelolaan Perhutanan Sosial tingkat provinsi dibentuk Pokja PPS yang ditetapkan oleh gubernur.

Pokja PPS bertugas:

1)    sosialisasi program Perhutanan Sosial kepada Masyarakat Setempat dan para pihak terkait;

2)    melakukan pencermatan terhadap PIAPS;

3)    membantu fasilitasi permohonan Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial;

4)    membantu melakukan verifikasi teknis permohonan Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial;

5)    membantu fasilitasi penyelesaian konflik sosial dan tenurial Pengelolaan Perhutanan Sosial;

6)    membantu fasilitasi pemenuhan hak, pelaksanaan kewajiban dan ketaatan terhadap ketentuan dan larangan bagi pemegang Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial dan penetapan status Hutan Adat;

7)    membantu fasilitasi penataan areal;

8)    membantu fasilitasi penyusunan perencanaan Pengelolaan Perhutanan Sosial;

9)    membantu fasilitasi pengembangan usaha Perhutanan Sosial; dan/atau

10) membantu pelaksanaan pembinaan dan pengendalian

 Anggota Pokja PPS terdiri atas:

a)    UPT;

b)    unit pelaksana teknis terkait di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan;

c)    Pemerintah Daerah provinsi;

d)    organisasi perangkat daerah provinsi bidang kehutanan;

e)    KPH;

f)     Pemerintah Daerah kabupaten/kota;

g)    Masyarakat sipil;

h)    pelaku usaha;

i)     kader konservasi; dan/atau

j)     relawan lingkungan hidup dan kehutanan.

Masyarakat sipil yang menjadi anggota Pokja PPS meliputi akademisi, lembaga swadaya Masyarakat dan/atau jurnalis.

Masa kerja Pokja PPS selama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang.

Operasional Pokja PPS dibiayai oleh anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah dan/atau sumber dana lainnya yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 
 
 
Sumber : Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2021 Tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial

0 komentar:

Posting Komentar