IPHPS


 

PENDAHULUAN

Perhutanan Sosial merupakan salah satu bagian dari tiga pilar kebijakan Pemerataan Ekonomi yaitu untuk mengurangi ketimpangan penguasaan lahan. Tingkat kepadatan penduduk di Pulau Jawa sangat tinggi dan sisi lain lahan sangat terbatas sehingga memerlukan pengaturan dan penetapan hubungan  hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat perlu ditingkatkan secara lebih sistematis dan intensif.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/ 2016 tentang Perhutanan Sosial, telah mengatur pola Perhutanan Sosial di wilayah kerja Perum Perhutani namun masih diperlukan penyempurnaan ketatalaksanaan berdasarkan kondisi lapangan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

PENGERTIAN

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.39/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL DI WILAYAH KERJA PERUM PERHUTANI yang dimaksud dengan Perhutanan Sosial  adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara yang dikelola oleh Perum Perhutani yang dilaksanakan oleh masyarakat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk izin pemanfaatan hutan.

Pemanfaatan Hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya.

 Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial yang selanjutnya disebut IPHPS adalah usaha dalam bentuk pemanfaatan kawasan, pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dalam hutan tanaman, pemanfaatan air, pemanfaatan energi air, pemanfaatan jasa wisata alam, pemanfaatan sarana wisata alam, pemanfaatan penyerapan karbon di hutan produksi dan hutan lindung dan pemanfaatan penyimpanan karbon di hutan lindung dan hutan produksi.

 Masyarakat adalah Warga Negara Republik Indonesia yang tinggal di sekitar kawasan hutan dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk dan Nomor Induk Kependudukan (NIK), atau yang telah memiliki riwayat penggarapan dibuktikan dengan surat keterangan dari Ketua Kelompok masyarakat, Ketua Kelompok Tani Hutan, atau Ketua Koperasi.

PELAKSANAAN

Perhutanan Sosial dapat diberikan pada wilayah kerja dengan tutupan lahan yang terbuka atau terdapat tegakan hutan kurang dari atau sama dengan 10% (sepuluh perseratus) secara terus menerus dalam kurun waktu 5 (lima) tahun atau lebih. Dalam hal terdapat kondisi sosial yang memerlukan penanganan secara khusus dapat diberikan IPHPS pada areal yang terbuka dengan tegakan hutan di atas 10% (sepuluh perseratus).

Kegiatan dalam IPHPS meliputi:

1.        usaha pemanfaatan kawasan;

2.       usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman;

3.       usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dalam hutan tanaman;

4.       usaha pemanfaatan air;

5.       usaha pemanfaatan energi air;

6.       usaha pemanfaatan jasa wisata alam;

7.       usaha pemanfaatan sarana wisata alam;

8.       usaha pemanfaatan penyerapan karbon di hutan produksi dan hutan lindung;

9.       usaha pemanfaatan penyimpanan karbon di hutan produksi dan hutan lindung.

 

*      IPHPS dalam Hutan Produksi pada lahan efektif untuk produksi dengan pola tanam:

a.      budidaya tanaman pokok hutan seluas 50% (lima puluh perseratus);

b.      budidaya tanaman multi guna/Multi Purpose Trees Species (MPTS) seluas 30% (tiga puluh perseratus);

c.        budidaya tanaman semusim seluas 20% (dua puluh perseratus).

·         Kegiatan budidaya MPTS dapat dilaksanakan dalam bentuk jalur atau wana tani (Agroforestry).

·         Dalam hal dilaksanakan kegiatan silvofishery, luas budidaya ikan/udang (tambak) paling banyak seluas 30% (tiga puluh perseratus).

·         Dalam hal kegiatan silvopasture (wana ternak), luas budidaya tanaman semusim seluas 20% (dua puluh perseratus) dapat ditanami tanaman pakan ternak.

·         Kegiatan sebagaimana dimaksud dapat dilaksanakan tumpang sari dengan tanaman semusim atau pakan ternak.

*      IPHPS dalam hutan lindung pada lahan efektif dengan pola tanam:

a. tanaman kayu non fast growing species untuk perlindungan tanah dan air seluas 20% (dua puluh perseratus);

b. tanaman multi guna/Multi Purpose Trees Species (MPTS) seluas 80% (delapan puluh perseratus);

 c. tanaman di bawah tegakan berupa tanaman selain jenis umbi-umbian dan/atau tanaman lainnya yang menyebabkan kerusakan lahan.

Hasil budidaya dapat dijual kepada BUMN dan/atau swasta.

Bagi hasil dari keuntungan bersih IPHPS atas penjualan hasil budidaya diatur sebagai berikut:

a.      untuk tanaman pokok hutan 30% (tiga puluh perseratus) untuk Perum Perhutani dan 70% (tujuh puluh perseratus) untuk pemegang IPHPS.

b.      Budidaya tanaman multi guna/Multi PurposeTreesSpecies (MPTS) 20% (dua puluh perseratus) untuk Perum Perhutani dan 80% (delapan puluh perseratus) untuk pemegang IPHPS.

c.        Budidaya tanaman semusim dan ternak 10% (sepuluh perseratus) untuk Perum Perhutani dan 90% (sembilan puluh perseratus) untuk pemegang IPHPS.

d.      Budidaya ikan/silvofishery/tambak 30% (tiga puluh perseratus) untuk Perum Perhutani dan 70% (tujuh puluh perseratus) untuk pemegang IPHPS.

e.       Usaha jasa lingkungan 10% (sepuluh perseratus) untuk Perum Perhutani dan 90% (sembilan puluh perseratus) untuk pemegang IPHPS.

 

 

0 komentar:

Posting Komentar