KARAKTERISTIK DAN STRATEGI PENGELOLAAN MANGROVE DI KECAMATAN DONOROJO

 KARAKTERISTIK DAN STRATEGI PENGELOLAAN MANGROVE

DI KECAMATAN DONOROJO

Tri Andik Setyawan, S.Hut[1]

 

 

A.            Pendahuluan

Lingkungan pantai merupakan daerah yang selalu mengalami perubahan karena daerah tersebut menjadi tempat pertemuan dua energi, yang berasal dari lautan dan daratan.  Perubahan lingkungan pantai tergantung pada topografi batuan atau sedimen dan sifat-sifatnya terhadap gelombang, pasang surut air laut dan angin.  Aktivitas manusia di kawasan pesisir dapat mempengaruhi proses alam yang bekerja sehingga menimbulkan ketidakseimbangan dan mengakibatkan bencana (Wicaksono et al., 2019).  

Proses alami yang sering terjadi di daerah pantai adalah perubahan kondisi fisik garis pantai akibat pengaruh interaksi pantai dengan gelombang dan arus.  Interaksi garis pantai terhadap arus dan gelombang daerah pantai mengakibatkan terjadinya sedimentasi di wilayah pantai, baik sejajar pantai maupun tegak lurus pantai.  Angkutan sedimen di wilayah pantai mengakibatkan maju mundurnya garis pantai.  Kondisi garis pantai maju disebut akresi dan garis pantai mundur disebut erosi (Sinaga & Susiati, 2007).

Pantai perairan Jepara termasuk bagian perairan Semenanjung Muria merupakan daerah yang dinamis, interkasi antara faktor oseanografi fisiki seperti arus, gelombang dan pasang surut dengan sedimen pantai tersebut menyebabkan pantai mengalami abrasi ataupun akresi (Sinaga & Susiati, 2007).           

Kecamatan Donorojo merupakan salah satu kecamatan pesisir di Kabupaten Jepara.  Dalam Buku Indeks Resiko Bencana Indonesia (IRBI) Tahun 2021, Kabupaten Jepara menempati peringkat ke-167 kabupaten dengan indeks resiko bencana gelombang ekstrem dan abrasi, serta berada di posisi ke- 3 dari kabupaten/kota lainnya di Provinsi Jawa Tengah, setelah Rembang (165) dan Pati (166) (BNPB, 2021).  Beberapa penyebab perubahan garis pantai yang terjadi di Kabupaten Jepara antara lain kondisi oseanografi (arus, angin, gelombang dan pasang surut), pembangunan fisik (reklamasi dan tanggul), budidaya (mangrove dan tambak) serta sedimentasi pada muara sungai.  Isu penambangan pasir yang terjadi di Kecamatan Donorojo juga menjadi salah satu perhatian kerawanan abrasi sebagai salah satu bentuk dinamika garis pantai yang terjadi di Kecamatan Donorojo (Wicaksono et al., 2019).

 

 

B.            Hasil dan Pembahasan

I.               Karakteristik dan Kerawanan Pesisir Kecamatan Donorojo

Geomorfologi pesisir Kecamatan Donorojo terbagi menjadi pantai bukit berbatu, pesisir pantai landai, pesisir pantai muara sedimen, pesisir pantai erosi dan sedimen.  Pantai bukit berbatu tersusun atas material vulkanik pasir tufan dan batu gamping. Pesisir pantai landai tersusun atas sedimen lepas pasir lanauan yang menunjukkan gejala erosi. Pesisir pantai muara sungai tersusun atas sedimen pasir lempungan pada bagian tengah sungai dan di tepi kanan kiri tebing sungai berupa pasir lanauan.  Pesisir pantai erosi menunjukkan bekas erosi berm pesisir. Kondisi sedimen pesisir pantai di wilayah penelitian dominan berukuran pasir lanau kerikilan dan sedimen pasir lanau, yang menunjukkan bahwa energi yang bekerja di wilayah tersebut merupakan energi yang cukup besar dari gelombang laut dari arah timur laut menuju barat daya membentuk arus longshore berarah timur ke arah barat.  Arus longshore ini mengakibatkan adanya akresi di bagian timur.

Kecamatan Donorojo terdiri dari bentuk lahan asal proses marin, fluvial dan vulkanik.  Sebelum mengalami pemekaran wilayah, Kecamatan Donorojo masih masuk ke dalam wilayah administrasi Kecamatan Keling.  Karakteristik garis pantai di pesisir Kecamatan Donorojo sebagaimana tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1.  Karakteristik Garis Pantai Kecamatan Donorojo

Kecamatan

Desa/Kelurahan

Karakteristik

Garis Pantai (km)

Material Utama Penyusun Pantai

Donorojo

Clering

2,5

Pantai berpasir

Ujungwatu

6,5

Pantai berpasir

Banyumanis

8,5

Pantai berpasir

Bumiharjo

1,5

Pantai berpasir

Bandungharjo

5,5

Pantai berpasir

 

Wilayah kepesisiran yang berkembang di Kabupaten Jepara tergolong pesisir tipe volcanic coast, yang memiliki beberapa potensi dan ancaman.  Potensi yang dimiliki antara lain bahan galian C, media pertumbuhan ekosistem terumbu karang dan potensi kawasan pariwisata.  Ancaman bahaya yang terjadi adalah morfologi pantai yang terjal dan berbahaya, serta karakteristik gelombang dan debur ombak yang besar berakibat pada kawasan kepesisiran Jepara rawan terhadap erosi pantai. 

Berdasarkan tingkat kerawanan abrasinya, terdapat tiga kelas kerawanan abrasi di pesisir Kecamatan Donorojo, yaitu kelas rendah, kelas sedang dan kelas tinggi.  Kelas kerawanan rendah terdapat di pesisir Desa Bandungharjo dan Desa Banyumanis, kelas kerawanan sedang terdapat di pesisir Desa Banyumanis sementara kelas kerawanan tinggi berada di pesisir Desa Clering dan Desa Ujungwatu.  Adanya tiga kelas kerawanan abrasi disebabkan karena pesisir utara Kabupaten Jepara, khususnya di Kecamatan Donorojo, memiliki penutup lahan dan material pantai yang berbeda-beda.  Wilayah tersebut memiliki pantai dengan pasir hitam yang mengandung besi dan terendapkan secara bertahap hingga membentuk lapisan-lapisan. Selain pantai pasir besi, pesisir Kecamatan Donorojo juga memiliki pantai berbatu breksi, tepatnya di wilayah Benteng Portugis (Wicaksono et al., 2019).

 


Gambar 1.  Peta Rawan Bencana Abrasi Kecamatan Donorojo Kabupaten Jepara

 

Berdasarkan morfologi pantai, bentuk pantai di Kecamatan Donorojo adalah lengkung, tanjung dan tidak beraturan.  Kondisi morfologi dan material pantai yang berbeda menghasilkan kekuatan abrasi yang berbeda sebagai akibat dari pengaruh gelombang yang berbeda.  Pemantauan dari citra satelit Landsat dari Tahun 1997 hingga 2017 ditemukan lokasi yang mengalami abrasi masif, khususnya Desa Ujungwatu yang terus mengalami abrasi sejak Tahun 1997 hingga 2017, serta Desa Clering yang mengalami kondisi garis pantai yang sangat dinamis dan berubah0ubah saat diamati dengan citra satelit pada perekaman 1997, 2007 dan 2017 karena lokasinya dekat dengan muara sungai dan penggunaan lahan lahannya berupa tambak (Wicaksono et al., 2019).

 

 

Gambar 2.  Perubahan Muka Air (1985-2016) (Sumber: https://aqua-monitor.appspot.com/)

 

Pada Gambar 2 terlihat perubahan muka air pada wilayah Kecamatan Donorojo selama rentang waktu Tahun 1985-2016.  Warna biru mengindikasikan adanya perubahan dari daerah darat menjadi laut.  Sedangkan warna hijau mengindikasikan perubahan daerah laut menjadi daratan Perubahan garis pantai dapat mengindikasikan adanya fenomena abrasi, erosi atau akresi.   Penelitian yang dilakukan oleh Parasian Siregar et al. (2014) menyebutkan abrasi yang terjadi di perairan Kecamatan Donorojo dalam kurun waktu 2003-2013 adalah seluas 223.212,72 m2 dengan laju rata-rata tiap tahunnya sebesar 20.292,07 m2/tahun sedangkan perubahan akresi yang terjadi dalam kurun waktu 2003-2013 adalah sebesar 39.773,85 m2 dengan laju rata-rata tiap tahunnya 3.615,80 m2/tahun.

 

II.             Strategi Pengelolaan Hutan Mangrove Kecamatan Donorojo

Untuk mengatasi abrasi pantai di Pantura Jawa, termasuk Kabupaten Demak, prioritas program dan kegiatan haruslah mempertimbangkan metode yang paling tepat, ramah lingkungan serta keberlanjutan.  Upaya perlindungan pantai Pantura Jawa dalam 2 (dua) dekade terakhir sebaiknya menggunakan konsep building with nature (membangun dengan memperhatikan alam) seperti hybrid engineering (kombinasi struktur dan sabuk hijau pantai).  Selain itu, penting juga mempertimbangkan perbedaan karakteristik pantai dan proses terkait yang terlibat seperti aspek hidro-oseanografi, suplai sedimen, penggunaan lahan pesisir, estetika dan lingkungan dalam menetukan strategi rehabilitasi kawasan pesisir (Solihuddin & Husrin, 2020)

Rehabilitasi mangrove di Pantura Jawa telah menjadi salah satu prioritas nasional sejak beberapa tahun lalu melalui berbagai program seperti beberapa program yang diluncurkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (sebelumnya Kementerian kehutanan) yaitu One Man One Tree (OMOT); Gerakan Satu Juta Pohon; Kebun Bibit Rakyat (KBR); Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL/Gerhan dan Sabuk Hijau.   Di samping itu banyak juga lembaga swasta, LSM serta berbagai bantuan internasional ikut serta terlibat seperti Organization for Industrial Spiritual and Cultural Advancement International (OISCA). Salah satu tujuan utama rehabilitasi mangrove pantura adalah untuk perbaikan dan pemulihan ekosistem mangrove yang mengalami kerusakan dan penurunan luasan baik oleh sebab alami maupun antropogenik.  Masalah utama hilangnya ekosistem mangrove di pesisir utara pulau Jawa adalah abrasi dan alih fungsi lahan dari mangrove menjadi tambak.

Beberapa strategi yang diharapkan dapat meningkatkan peluang keberhasilan rehabilitasi mangrove untuk meredam abrasi di Pantura Kabupaten Demak, adalah

1.     Pemilihan spesies yang cocok dengan substrat pada lokasi rehabilitasi.  Kebanyakan program rehabilitasi dilakukan dengan penanaman monospesies yang berasal dari genus Rhizophora.  Propagul dari genus ini lebih disukai karena lebih mudah untuk disemai/ditanam dan banyak tersedia di lapangan.  Namun demikian, secara ekologis spesies ini tumbuh di zona tengah setelah spesies dari Avicennia dan Sonneratia.

2.    Mendorong keterlibatan masyarakat dalam upaya rehabilitasi mangrove.  Kesadaran masyarakat akan pentingnya ekosistem mangrove dalam melindungi mata pencahariannya ataupun menunjang kehidupannya akan memberikan umpan balik positif bagi setiap perencanaan dan pelaksanaan rehabilitasi. Mencari “local hero” atau masyarakat lokal yang dengan pengetahuan empirisnya paham bahwa mangrove memiliki fungsi langsung dan tidak langsung dalam menunjang kehidupan dan interaksinya dengan alam sekitar biasanya memerlukan waktu serta pendampingan yang terus menerus.

3.    Penerapan metode/teknologi baru dalam rehabilitasi mangrove, misalnya dalam rehabilitasi mangrove, misalnya pemecah gelombang hybrid engineering (HE).  Tujuan dari metode ini adalah untuk memerangkap sedimen halus (fine sedimen) atau lumpur, jadi harus dipastikan adanya sumber sedimentasi. Aplikasi HE di Demak memberikan dampak positif pada rehabilitasi pada tahun-tahun awal pemasangan.

4.   Penanaman mangrove sebaiknya dilakukan pada area intertidal di atas rata-rata permukaan laut (mean sea level) dimana mangrove dapat tumbuh dengan baik.

5.    Pada daerah yang mengalami abrasi yang masif karena pesisir menerima energi yang tinggi, rehabilitasi mangrove dilakukan pada tambak yang ada di dekat garis pantai terutama pada tambak yang sudah tidak digunakan. Penanaman dilakukan setelah perbaikan hidrologi dengan membuka tanggul sehingga air laut dapat masuk-keluar ke dalam tambak. Hal ini juga dapat mendorong rekruitmen alami.

6.   Pada tambak yang masih aktif, silvofishery dapat diaplikasikan karena berfungsi untuk mencegah abrasi juga menjadi nilai tambah dalam budidaya tambak.

7.    Rehabilitasi mangrove dapat dilakukan bersamaan dengan aplikasi struktur keras dengan memperhatikan perubahan hidrologi yang akan berpengaruh pada suplai sedimen dan bibit mangrove.

8.   Pengaturan kebijakan pelaksanaan rehabilitasi selain mengacu pada pedoman dan syarat pelaksanaan kegiatan (administrasi pelaksanaan) juga harus memperhatikan syarat-syarat ekologis terkait waktu dan tempat rehabilitasi. Seperti contoh, waktu penanaman yang tepat dilakukan tanpa dibatasi oleh waktu keproyekan.

9.   Perlu adanya perencanaan yang matang dalam melakukan rehabilitasi dengan melakukan pengidentifikasi penyebab kerusakan dan tingkat kerusakannya sebelum melakukan proses perbaikan habitat dan/atau penanaman termasuk kebutuhan masyarakat lokal. Keterlibatan masyarakat sejak awal sangat penting untuk menjamin keberhasilan rehabilitasi mangrove, hal ini untuk menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) terhadap ekosistem mereka. 

10. Melakukan pemeliharaan rehabilitasi dengan menjaga kondisi ekosistem area yang direhabilitasi agar terjaga dari kerusakan kembali, baik secara alamiah atau karena kegiatan manusia.  Contohnya dengan diterapkannya peraturan-peraturan lokal yang mengatur pemanfaatan hutan mangrove maupun sumberdaya alam apa saja boleh dan tidak boleh dimanfaatkan untuk menjaga keseimbangan ekosistemnya termasuk sanksi dan denda yang diberlakukan jika melanggar.

 

C.             Kesimpulan

Lingkungan pantai merupakan daerah yang selalu mengalami perubahan karena daerah tersebut menjadi tempat pertemuan dua energi, yang berasal dari lautan dan daratan.  Perubahan lingkungan pantai tergantung pada topografi batuan atau sedimen dan sifat-sifatnya terhadap gelombang, pasang surut air laut dan angin. 

Pantai perairan Jepara termasuk bagian perairan Semenanjung Muria merupakan daerah yang dinamis, interkasi antara faktor oseanografi fisiki seperti arus, gelombang dan pasang surut dengan sedimen pantai tersebut menyebabkan pantai mengalami abrasi ataupun akresi.  Kabupaten Jepara menempati peringkat ke-167 kabupaten dengan indeks resiko bencana gelombang ekstrem dan abrasi.

Untuk mengatasi abrasi pantai di Pantura Jawa, termasuk Kabupaten Demak, prioritas program dan kegiatan haruslah mempertimbangkan metode yang paling tepat, ramah lingkungan serta keberlanjutan.  Upaya perlindungan pantai Pantura Jawa dalam 2 (dua) dekade terakhir sebaiknya menggunakan konsep building with nature (membangun dengan memperhatikan alam) seperti hybrid engineering (kombinasi struktur dan sabuk hijau pantai).  Selain itu, penting juga mempertimbangkan perbedaan karakteristik pantai dan proses terkait yang terlibat seperti aspek hidro-oseanografi, suplai sedimen, penggunaan lahan pesisir, estetika dan lingkungan dalam menetukan strategi rehabilitasi kawasan pesisir.

 

D.            Daftar Pustaka

BNPB. (2021). INDEKS RISIKO BENCANA INDONESIA. Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

Parasian Siregar, N., Subardjo, P., & Setiyono, H. (2014). STUDI PERUBAHAN GARIS PANTAI DI PERAIRAN KELING KABUPATEN JEPARA. Jurnal Oseanografi, 3(3), 317–327. http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose

Sinaga, T. P. T., & Susiati, H. (2007). Studi Pemodelan Perubahan Garis Pantai Di Sekitar Perairan Tapak PL TN Semenanjung Muria. Jurnal Pengembangan Energi Nuklir, 9(2).

Solihuddin, T., & Husrin, S. (2020). REHABILITASI PANTURA JAWA: ISU , ANALISIS , DAN TANTANGAN (Issue November).

Wicaksono, A., Astuti, A. P., Mardianto, D., & Wibowo, S. B. (2019). Pemetaan Kerawanan Bencana Abrasi Di Kecamatan Donorojo, Kabupaten Jepara. Prosiding Seminar Nasional Geotik, 400–409.

 
Download naskah pada link berikut: LINK

[1] Penyuluh Kehutanan Ahli Muda CDK Wilayah II DLHK Jateng

0 komentar:

Posting Komentar