Rehabilitasi Pantai Berbasis Masyarakat



Maraknya alih fungsi dan pembangunan di pesisir Indonesia telah menyebabkan berkurangnya tutupan vegetasi pantai, terutama hutan pantai dan hutan mangrove.  Hal ini menyebabkan kawasan pesisir menjadi lebih rentan terhadap bencana dan dampak yang ditimbulkannya.  Kondisi ini menimbulkan rasa tidak aman bagi masyarakat pesisir yang selalu kuatir atas kemungkinan bahaya yang mengancam, terutama yang berasal dari arah laut.  Rehabilitasi pantai merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kondisi pesisir agar dapat pulih dan mampu berfungsi secara optimal, terutama dalam menjalankan fungsinya sebagai sistem pertahanan alami.  
Pantai merupakan tempat hidup bagi berbagai jenis tumbuhan, baik yang berupa pohon maupun non pohon. Jenis dan penyebaran tumbuhan ini selalu mengikuti kondisi pantai di pesisir. Di pantai berlumpur, vegetasi yang tumbuh pada umumnya merupakan jenis tumbuhan mangrove. Sementara di pantai berpasir dan daratan kering di pesisir, vegetasi yang tumbuh pada umumnya merupakan jenis tumbuhan pantai daratan. 
 
Vegetasi Mangrove 
Sebagian besar jenis mangrove merupakan tumbuhan pohon sementara sisanya berupa herba, semak, tumbuhan paku, palem, atau epifit. Bakau, Api-api, Pedada, Tanjang, dan Tengar merupakan beberapa jenis pohon yang umum dijumpai di lapangan. Namun demikian, jenis mangrove tidak hanya sebatas jenis-jenis tersebut. Wetlands International setidaknya telah mengidentifikasi 46 jenis mangrove di Indonesia.

Apakah rehabilitasi pantai? 
Rehabilitasi pantai merupakan suatu upaya untuk memperbaiki kondisi pantai yang telah mengalami kerusakan melalui penanaman kembali dengan jenis-jenis tanaman yang sesuai dengan kondisi setempat.
Apakah tujuan rehabilitasi? 
Tujuan kegiatan rehabilitasi adalah untuk memperbaiki kondisi lingkungan yang telah rusak sehingga pulih dan dapat berfungsi secara optimal baik bagi manusia, lingkungan, dan keanekaragaman hayati.  
Indikator keberhasilan kegiatan rehabilitasi bukanlah berapa jumlah tanaman yang berhasil ditanam di lapangan, melainkan berapa jumlah tanaman yang berhasil hidup dan tumbuh. 
Oleh karena itu, maka :
Kegiatan harus dilakukan dengan tata cara yang benar dan hati-hati.
Disertai dengan pemeliharaan setelah bibit ditanam di lapangan.
Diikuti dengan upaya perlindungan agar tanaman yang telah ditanam tidak ditebang atau mengalami gangguan. 

Apa kaitan rehabilitasi pantai dengan pengurangan resiko bencana? 
Kegiatan rehabilitasi memiliki hubungan yang erat dengan upaya pengurangan resiko bencana. Bibit yang ditanam diharapkan akan tumbuh dan membentuk hutan pantai atau hutan mangrove yang nantinya akan berfungsi sebagai sistem pertahanan alami di pesisir.  
Jika terjadi angin kencang, hutan pantai atau mangrove mampu mengurangi kekuatan angin tersebut sehingga tidak membahayakan masyarakat yang tinggal di wilayah pemukiman. Khusus di pantai berpasir, hutan pantai mampu menghalau debu atau pasir halus yang terbawa angin menuju pemukiman warga.  
Jika terjadi air pasang atau gelombang besar, hutan mangrove atau hutan pantai akan meredam kekuatan dan mengurangi jangkauannya.  Dengan demikian maka masyarakat yang tinggal di wilayah pemukiman relatif lebih aman dari dampak air pasang atau gelombang besar.  
Vegetasi pantai terutama hutan mangrove akan mampu memperbaiki kondisi hidrologis wilayah pesisir sehingga intrusi atau pencemaran air tawar dari air asin dapat dikurangi atau setidaknya lebih terkontrol.


Ada enam (6) tahap kegiatan rehabilitasi pantai 
TAHAP SATU adalah PERSIAPAN. Kegiatan pertama yang dilakukan dalam persiapan adalah pemetaan ekosistem. Kegiatan ini bertujuan mengidentifikasi, mengenali tipe ekosistem yang ada di desa, dan menggambarkannya ke dalam suatu peta. Secara khusus, pemetaan ekosistem juga mengidentifikasi lokasi-lokasi yang perlu untuk direhabilitasi.
Hasil yang diperoleh dari pemetaan ekosistem ini kemudian disosialisasikan kepada aparat desa dan masyarakat. Dalam sosialisasi ini, rencana rehabilitasi pantai disampaikan untuk mendapat dukungan masyarakat.  Diharapkan proses ini juga dapat membangun kesepakatan dengan masyarakat untuk merealisasikan rehabilitasi pantai.  
Apabila kesepakatan dengan masyarakat telah tercapai, maka langkah berikutnya adalah pembentukan kelompok dan merencanakan kegiatan rehabilitasi secara detail.  

TAHAP DUA adalah PEMBIBITAN. Pembibitan diawali dengan membangun persemaian sebagai tempat kegiatan pembibitan. Setelah persemaian dibangun, kegiatan berikutnya adalah penyemaian, pemeliharaan, dan pengerasan bibit.
Pengerasan bibit adalah proses adaptasi bibit dari suasana persemaian ke suasana di lokasi penanaman. Tanpa adanya pengerasan, maka bibit akan mengalami stres setelah ditanam karena kondisi di lokasi penanaman jauh berbeda dengan yang ada di persemaian.  

TAHAP TIGA adalah PEMILIHAN DAN PERSIAPAN LOKASI PENANAMAN. Kegiatan ini meliputi tiga kegiatan utama yaitu pemilihan lokasi penanaman, penataan batas dan penandaan jarak tanam (dengan menggunakan ajir).  

TAHAP EMPAT adalah PENANAMAN. Kegiatan ini memberikan arahan tentang bagaimana memindahkan tanaman ke lokasi penanaman dan melakukan penanaman dengan prosedur yang benar. Terdapat perbedaan teknik menanam antara tanaman mangrove dan tanaman pantai daratan. Penanaman dilakukan di titik-titik yang telah ditandai dengan ajir.  
 
TAHAP LIMA adalah MONITORING TANAMAN. Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui kondisi bibit setelah ditanam dan mengetahui banyaknya tanaman yang hidup /mati setelah ditanam. Dengan kegiatan ini juga, stok karbon (C) yang tersimpan oleh tanaman atau gas asam arang (CO2) yang diserap oleh tanaman dapat dihitung. 

TAHAP ENAM adalah PEMELIHARAAN TANAMAN, meliputi kegiatan penyulaman dan pengendalian hama dan penyakit. Data tanaman yang mati (telah dihitung dalam monitoring tanaman) digunakan sebagai dasar dalam melakukan kegiatan penyulaman.

 

PESTISIDA NABATI DARI BUAH PICUNG / KLUWEK

Oleh : SRI HASTUTI,SP


Kluwek / picung yang mempunyai nama latin pangium edule adalah jenis biji tanaman yang berasal dari pohon kluwek. Pohon kluwek ini dikenal sebagai pohon serbaguna, hampir semua bagian tumbuhan ini bisa dimanfaatkan.
Kluwek / Picung adalah tanaman berdaun tunggal dengan bulu halus lembut dibawah daun.
Bentuk daun bulat telur atau bulat bertulang jari menonjol diatas dan dibawah.

Buah kepayang berbentuk bulat liontin dengan kulit tebal berdiameter 10-20 cm. Buah muda berwarna coklat muda dan saat masak berwarna coklat kehitaman.Tangkai buah pendek berukuran 1,5 – 2 cm.Ketika mentah daging buah berwarna putih pucat dan berwarna kuning telur  lunak berlendir dan beraroma khas.

Picung memiliki kandungan senyawa alami anti mikrob.Aktivitas antimikrobnya menjadikan biji picung dimanfaatkan untuk pengawet ikan. Selain itu ekstrak biji picung juga mengandung senyawa antifungal, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan fungisida nabati terhadap pertumbuhan koloni Rhizoctonia sp dan Cylindrocladium sp.

Cara Pembuatan :

Bahan dan Alat

-       100 gr daging buah muda

-       100 ml air steril

-    Tempat tertutup

-    Blender/ penumbuk

-       Bahan di blender dan disimpan dalam wadah


 Cara Pembuatannya :

-       Ambil 5 daging buah picung muda blender / tumbuk  dan rendam dengan air sebanyak 10 lt rendam dalam wadah tertutup simpan selama 3-5 hari.

Aplikasi ; setiap 10 ml dilarutkan kedalam 10 lt air untuk diaplikasikan terhadap tanaman yang terserang jamur dan serangga.

Selain sebagai bahan antifungal ekstrak buah picung muda juga sebagai Insektisida nabati

Daging buah Picung mengandung asam sianida dan tanin yang bersifat racun  terhadap mikrob.





IPHPS


 

PENDAHULUAN

Perhutanan Sosial merupakan salah satu bagian dari tiga pilar kebijakan Pemerataan Ekonomi yaitu untuk mengurangi ketimpangan penguasaan lahan. Tingkat kepadatan penduduk di Pulau Jawa sangat tinggi dan sisi lain lahan sangat terbatas sehingga memerlukan pengaturan dan penetapan hubungan  hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat perlu ditingkatkan secara lebih sistematis dan intensif.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/ 2016 tentang Perhutanan Sosial, telah mengatur pola Perhutanan Sosial di wilayah kerja Perum Perhutani namun masih diperlukan penyempurnaan ketatalaksanaan berdasarkan kondisi lapangan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

PENGERTIAN

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.39/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL DI WILAYAH KERJA PERUM PERHUTANI yang dimaksud dengan Perhutanan Sosial  adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara yang dikelola oleh Perum Perhutani yang dilaksanakan oleh masyarakat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk izin pemanfaatan hutan.

Pemanfaatan Hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya.

 Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial yang selanjutnya disebut IPHPS adalah usaha dalam bentuk pemanfaatan kawasan, pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dalam hutan tanaman, pemanfaatan air, pemanfaatan energi air, pemanfaatan jasa wisata alam, pemanfaatan sarana wisata alam, pemanfaatan penyerapan karbon di hutan produksi dan hutan lindung dan pemanfaatan penyimpanan karbon di hutan lindung dan hutan produksi.

 Masyarakat adalah Warga Negara Republik Indonesia yang tinggal di sekitar kawasan hutan dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk dan Nomor Induk Kependudukan (NIK), atau yang telah memiliki riwayat penggarapan dibuktikan dengan surat keterangan dari Ketua Kelompok masyarakat, Ketua Kelompok Tani Hutan, atau Ketua Koperasi.

PELAKSANAAN

Perhutanan Sosial dapat diberikan pada wilayah kerja dengan tutupan lahan yang terbuka atau terdapat tegakan hutan kurang dari atau sama dengan 10% (sepuluh perseratus) secara terus menerus dalam kurun waktu 5 (lima) tahun atau lebih. Dalam hal terdapat kondisi sosial yang memerlukan penanganan secara khusus dapat diberikan IPHPS pada areal yang terbuka dengan tegakan hutan di atas 10% (sepuluh perseratus).

Kegiatan dalam IPHPS meliputi:

1.        usaha pemanfaatan kawasan;

2.       usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman;

3.       usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dalam hutan tanaman;

4.       usaha pemanfaatan air;

5.       usaha pemanfaatan energi air;

6.       usaha pemanfaatan jasa wisata alam;

7.       usaha pemanfaatan sarana wisata alam;

8.       usaha pemanfaatan penyerapan karbon di hutan produksi dan hutan lindung;

9.       usaha pemanfaatan penyimpanan karbon di hutan produksi dan hutan lindung.

 

*      IPHPS dalam Hutan Produksi pada lahan efektif untuk produksi dengan pola tanam:

a.      budidaya tanaman pokok hutan seluas 50% (lima puluh perseratus);

b.      budidaya tanaman multi guna/Multi Purpose Trees Species (MPTS) seluas 30% (tiga puluh perseratus);

c.        budidaya tanaman semusim seluas 20% (dua puluh perseratus).

·         Kegiatan budidaya MPTS dapat dilaksanakan dalam bentuk jalur atau wana tani (Agroforestry).

·         Dalam hal dilaksanakan kegiatan silvofishery, luas budidaya ikan/udang (tambak) paling banyak seluas 30% (tiga puluh perseratus).

·         Dalam hal kegiatan silvopasture (wana ternak), luas budidaya tanaman semusim seluas 20% (dua puluh perseratus) dapat ditanami tanaman pakan ternak.

·         Kegiatan sebagaimana dimaksud dapat dilaksanakan tumpang sari dengan tanaman semusim atau pakan ternak.

*      IPHPS dalam hutan lindung pada lahan efektif dengan pola tanam:

a. tanaman kayu non fast growing species untuk perlindungan tanah dan air seluas 20% (dua puluh perseratus);

b. tanaman multi guna/Multi Purpose Trees Species (MPTS) seluas 80% (delapan puluh perseratus);

 c. tanaman di bawah tegakan berupa tanaman selain jenis umbi-umbian dan/atau tanaman lainnya yang menyebabkan kerusakan lahan.

Hasil budidaya dapat dijual kepada BUMN dan/atau swasta.

Bagi hasil dari keuntungan bersih IPHPS atas penjualan hasil budidaya diatur sebagai berikut:

a.      untuk tanaman pokok hutan 30% (tiga puluh perseratus) untuk Perum Perhutani dan 70% (tujuh puluh perseratus) untuk pemegang IPHPS.

b.      Budidaya tanaman multi guna/Multi PurposeTreesSpecies (MPTS) 20% (dua puluh perseratus) untuk Perum Perhutani dan 80% (delapan puluh perseratus) untuk pemegang IPHPS.

c.        Budidaya tanaman semusim dan ternak 10% (sepuluh perseratus) untuk Perum Perhutani dan 90% (sembilan puluh perseratus) untuk pemegang IPHPS.

d.      Budidaya ikan/silvofishery/tambak 30% (tiga puluh perseratus) untuk Perum Perhutani dan 70% (tujuh puluh perseratus) untuk pemegang IPHPS.

e.       Usaha jasa lingkungan 10% (sepuluh perseratus) untuk Perum Perhutani dan 90% (sembilan puluh perseratus) untuk pemegang IPHPS.